Ilustrasi anak sekolah.
Tren Global

Duh, Duit Korupsi Chromebook Bisa Buat Bikin 10 Sekolah Rakyat

  • Kasus korupsi pengadaan Chromebook pada era Menteri Nadiem Makarim mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp1,98 triliun, jumlah tersebut bukan angka kecil. Jika dialihkan ke sektor lain seperti pendidikan, dampaknya memberikan manfaat yang jauh lebih luas. Misalnya, untuk membangun Sekolah Rakyat.

Tren Global

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada masa kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim diperkirakan mencapai Rp1,98 triliun.

Dalam kasus ini, jumlah Chromebook yang diadakan mencapai 1.200.000 unit. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengungkapkan, penyidik telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi ini.

Para tersangka tersebut antara lain Sri Wahyuningsih, selaku Direktur Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah pada 2020-2021, sekaligus bertindak sebagai kuasa pengguna anggaran.

Selanjutnya ada Mulyatsyah, selaku Direktur SMP Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

Tersangka lainnya adalah Jurist Tan, staf khusus Menteri Nadiem Makarim, serta Ibrahim Arief, yang merupakan konsultan mantan Mendikbud Nadiem Makarim pada periode Maret-September 2020.

Kasus korupsi pengadaan Chromebook pada era Menteri Nadiem Makarim mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp1,98 triliun, jumlah tersebut bukan angka kecil. Jika dialihkan ke sektor lain seperti pendidikan, dampaknya memberikan manfaat yang jauh lebih luas. Misalnya, untuk membangun Sekolah Rakyat.

Sebelum menghitung anggaran dalam kasus korupsi pengadaan Chromebook untuk membangun Sekolah Rakyat, apa sih Sekolah Rakyat itu?

Sekolah Rakyat merupakan bentuk afirmatif pemerintah yang ditujukan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, tanpa melalui proses seleksi akademik yang ketat.

Penyaringan calon siswa dilakukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) dengan merujuk pada Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), serta dilengkapi dengan survei langsung di lapangan.

Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat Prof. Mohammad Nuh menjelaskan, meski tidak menerapkan tes akademik dalam proses seleksi, Sekolah Rakyat tetap menerapkan academic mapping bagi para siswa.

“Berapa pun nilainya, sepanjang dia itu miskin desil satu, masuk. Tapi, sekolah tahu persis posisi akademik anak itu saat awal masuk,” paparnya.

Mapping ini tidak hanya ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan akademik siswa, tetapi juga mencakup aspek kesehatan fisik serta kondisi psikologis mereka.

“Kalau dia punya penyakit pun, tidak ditolak. Tapi, diobati dan tetap sekolah. Kita ingin tahu perubahan anak sebelum dan sesudah sekolah,” jelasnya.

Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo mengatakan, pembangunan satu unit Sekolah Rakyat pada tahap kedua memerlukan anggaran hingga Rp200 miliar yang dibangun di atas lahan seluas 5 hektare.

Dia menjelaskan, biaya pembangunan Sekolah Rakyat tahap kedua jauh lebih tinggi dibandingkan tahap pertama, yang sebagian besar hanya melibatkan renovasi ringan.

“Kalau tahap pertama sekitar Rp1,1 triliun sampai Rp1,2 triliun untuk 200 lokasi, karena hanya renovasi dan sedang, bukan pekerjaan berat,” paparnya.

Dengan asumsi satu Sekolah Rakyat butuh Rp200 miliar, artinya pemerintah bisa membangun sekitar 10 Sekolah Rakyat dari dana yang hilang akibat korupsi Chromebook. Hal ini menunjukkan dampak korupsi bisa sedemikian merugikan terhadap kemajuan pendidikan.