<p>Kantor PT Timah di kawasan Gambir Jakarta Pusat. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Tren Pasar

Dividen TINS 2024: Yield 5,45 Persen Vs Kinerja Reksa Dana, Unggul Mana?

  • Yield dividen TINS 2024 capai 5,45%. Namun, reksa dana stabil ternyata menawarkan imbal hasil lebih tinggi. Mana yang lebih baik untuk portofolio Anda?

Tren Pasar

Alvin Bagaskara

JAKARTA – PT Timah Tbk (TINS) resmi mengumumkan pembagian dividen tunai untuk tahun buku 2024 sebesar Rp63,73 per saham, dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang diselenggarakan pada Kamis, 12 Juni 2025 di Jakarta. 

Keputusan ini menjadi angin segar bagi para pelaku pasar. Pasalnya, pada tahun buku 2023, emiten tambang timah yang beroperasi di Bangka Belitung, absen membagikan dividen karena perusahaan menelan kerugian signifikan. 

Namun, tahun kelam telah berlalu, emiten berkodekan TINS bangkit dengan membagikan dividen total senilai Rp474,65 miliar untuk kinerja tahun buku 2024. Kebijakan ini merepresentasikan dividend payout ratio (DPR) sebesar 40% dari laba bersih, sedangkan 60% sisanya atau Rp711,98 miliar ditetapkan sebagai laba ditahan.

Sementara itu, mengacu harga saham TINS pada perdagangan berjalan Jumat, 13 Juni 2025, berada di level Rp1.170 per saham, maka indikasi dividen yield yang ditawarkan sebesar 5,45%. Dari sini, muncul pertanyaan menarika: bagaimana prospek imbal hasil tunggal ini jika diadu dengan kinerja instrumen investasi lain yang lebih terdiversifikasi?

Yield TINS Vs Reksa Dana

Sebagai pembanding, TrenAsia menyoroti dua produk reksa dana yang dikenal stabil dan tahan terhadap tekanan makroekonomi, yakni reksa dana pendapatan tetap dan pasar uang. Data diperoleh dari platform NAVI milik Mirae Asset Sekuritas Indonesia.

Reksa dana pendapatan tetap, yang berinvestasi pada obligasi, menawarkan profil risiko yang lebih moderat dibandingkan saham tunggal. Menariknya, kinerja reksa dana di kategori ini dalam setahun terakhir mampu melampaui angka yield TINS. 

Sebagai contoh, I-Hajj Syariah Fund mencatatkan imbal hasil +8,53% dalam setahun, disusul oleh Kisi Fixed Income Fund Plus dengan return +8,24%, serta Insight Renewable Fund yang membukukan kinerja +8,07%. Ketiganya menunjukkan bahwa diversifikasi pada instrumen utang dapat meraih pertumbuhan yang lebih stabil.

Perbandingan menjadi lebih menarik saat yield dividen TINS dihadapkan dengan reksa dana pasar uang, instrumen dengan tingkat risiko paling rendah. Kategori ini sering dianggap sebagai alternatif deposito karena stabilitasnya. 

Data menunjukkan kinerja yang solid, di mana Insight Money memberikan imbal hasil +6,19% dalam setahun, sementara Insight Money Syariah dan Capital Money Market Fund masing-masing mencatatkan kinerja +6,07% dan +6,03%. Fakta ini menyoroti bahwa bahkan instrumen paling konservatif pun mampu memberikan imbal hasil yang sangat kompetitif.

Perlu dingat, perbandingan tersebut bukanlah untuk menentukan mana yang lebih baik, melainkan untuk memahami spektrum risiko dan imbal hasil. Pilihan antara berinvestasi di saham TINS atau reksa dana sangat bergantung pada tujuan dan profil risiko investor.

Di samping itu, menanam saham TINS juga menawarkan potensi capital gain yang tidak terbatas di luar dividen, namun datang dengan risiko volatilitas harga yang tinggi. Ini cocok bagi investor agresif yang percaya pada prospek jangka panjang perseroan.

Rekam Jejak Dividen TINS

Oleh karena itu, memahami volatilitas dan menakar prospek tersebut secara lebih dalam, melihat rekam jejak historis perusahaan menjadi langkah krusial. Pola dividen di masa lalu dapat memberikan gambaran nyata mengenai karakter TINS dalam menghadapi berbagai siklus bisnis dan komitmennya terhadap pemegang saham.

Historis Dividen Per Saham TINS

Perjalanan dividen TINS sangat fluktuatif, yang tecermin dari kebijakan payout ratio yang adaptif. Pada tahun buku 2015 dan 2016, perusahaan secara konsisten mengalokasikan sekitar 30% dari laba bersihnya sebagai dividen, dengan nilai berturut-turut Rp4,09 dan Rp10,14 per saham.

Tren positif berlanjut dengan payout ratio yang juga meningkat. Untuk tahun buku 2017 dan 2018, dividen ditetapkan di kisaran 35% dari laba, menghasilkan imbal hasil Rp23,61 dan Rp24,97 per saham bagi investor sebelum tantangan pasar global mulai memberikan tekanan besar.

Tekanan pasar dan pandemi COVID-19 memberi dampak signifikan, membuat perseroan mencatatkan kerugian. Akibatnya, untuk tahun buku 2019 dan 2020, tidak ada laba yang bisa dibagikan sehingga perusahaan meniadakan dividen demi menjaga stabilitas operasional di tengah ketidakpastian.

Pemulihan kinerja terjadi pada tahun buku 2021, didorong lonjakan laba yang luar biasa. Manajemen memutuskan payout ratio sebesar 35%, menghasilkan dividen tertinggi saat itu senilai Rp61,22 per saham, sebuah sinyal kuat kembalinya profitabilitas perusahaan pasca pandemi yang berat.

Pada tahun buku 2022, manajemen memilih payout ratio lebih konservatif sebesar 30% yang menghasilkan dividen Rp41,95 per saham. Namun, tantangan kembali pada tahun 2023 di mana kerugian membuat perusahaan kembali absen membagikan dividen kepada para pemegang sahamnya.

Puncak profitabilitas tercapai pada tahun buku 2024, di mana RUPST menyetujui payout ratio 40% dari laba. Keputusan ini menghasilkan dividen rekor Rp63,73 per saham, dengan jadwal pembayaran yang akan diumumkan perseroan melalui keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia.