
Diplomasi Prabowo Bikin Malaysia Iri, Gaya Anwar Ibrahim Dikritik
- Indonesia kian dihormati di panggung global dengan capaian diplomasi 2025, sementara kunjungan PM Malaysia Anwar Ibrahim ke Prancis menuai kritik.
Tren Global
JAKARTA - Dalam dinamika geopolitik, posisi Indonesia di mata dunia tampaknya mengalami lonjakan yang signifikan dibanding negara-negara tetangga, termasuk Malaysia. Sejumlah momentum diplomatik yang diraih Indonesia selama 2025 memperkuat kesan bahwa negeri ini kian dihormati di panggung global. Apakah Indonesia tengah menjadi kekuatan baru yang lebih diperhitungkan?
Selama tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto mencetak sejumlah capaian penting dalam diplomasi internasional. Presiden menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Brasil, menjadi tamu istimewa dalam konferensi CEO Global pada Oktober 2025, serta tampil sebagai tamu kehormatan dalam Perayaan Hari Bastille di Prancis.
Serangkaian kunjungan ini bukan sekadar simbolik, melainkan merupakan bagian dari strategi Indonesia dalam memperkuat posisinya sebagai mitra strategis bagi negara-negara besar.
Reformasi kebijakan nasional, khususnya di sektor pertahanan dan pertanian, seperti proyek joint production alutsista dengan Prancis, menjadi daya tarik utama. Tak tanggung-tanggung, pemerintah Prancis bahkan menyebut Indonesia sebagai "mitra utama modernisasi pertahanan" di kawasan Asia Tenggara.
Kehormatan Historis di Champs-Élysées
Salah satu sorotan besar datang dari partisipasi pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam parade Hari Bastille (14 Juli 2025) di Champs-Élysées, Paris. Indonesia menjadi negara Asia pertama yang memimpin defile militer pada acara tersebut, sebuah kehormatan langka yang menunjukkan tingginya kepercayaan Prancis terhadap Indonesia.
Penampilan para prajurit Indonesia yang rapi dan gagah mendapat liputan positif dari media internasional seperti Le Figaro dan South China Morning Post. Dampaknya terasa luas. India dan Pakistan segera mengundang Indonesia untuk ikut tampil dalam acara kenegaraan mereka, menandakan pengakuan atas kredibilitas militer sekaligus diplomasi Indonesia yang semakin solid.
Kontras dengan Kunjungan PM Malaysia yang "Sepi"
Di saat Indonesia mendapat sorotan hangat, kunjungan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim ke Prancis justru menimbulkan kontroversi domestik. Sejumlah anggota Dewan Rakyat Malaysia, termasuk Wan Ahmad Fayhsal, melontarkan kritik tajam karena Anwar hanya disambut oleh pejabat level menengah dan nyaris tidak mendapat liputan media.
“Mengapa Perdana Menteri kita tidak diundang? Bahkan ketika menjabat sebagai Ketua ASEAN, ia hanya disambut oleh seorang pejabat biasa, yang secara protokol jauh lebih rendah dibanding Presiden Prabowo, yang disambut oleh Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau,” ujar Wan Ahmad Fayhsal, anggota parlemen Malaysia, dikutip Selasa, 29 Juli 2025.
Berbeda jauh dengan sambutan megah yang diterima Prabowo, yang bahkan dijemput langsung oleh Menteri Dalam Negeri Prancis dan dijamu Presiden Emmanuel Macron.
Kunjungan Anwar ke Prancis pada 3 Juli 2025 itu pun dinilai sebagai kegagalan diplomasi. Pemerintah Malaysia sempat membantah dengan menyatakan bahwa kunjungan tersebut hanyalah "transit menuju KTT BRICS", bukan kunjungan resmi. Namun, pembelaan ini dianggap publik sebagai upaya menutupi lemahnya posisi Malaysia di mata global.
Kekecewaan publik Malaysia kian terlihat. Protes parlemen atas "perlakuan dingin" terhadap PM Anwar di Prancis memperlihatkan frustrasi atas menurunnya pengaruh Malaysia di kancah global. Seorang anggota DPR Malaysia bahkan menyebut suasana kunjungan itu sebagai "kunjungan sepi."
“Saya melihat, Yang Terhormat Menteri, liputan media mengenai kunjungan Ketua ASEAN ke Paris juga tidak luas. Le Figaro, Le Monde, Le Parisien bahkan tidak meliput pidato utama di Sorbonne,” tambah Fayhsal.
Mengapa Dunia Lebih Menghormati Indonesia?
Ada beberapa alasan mengapa Indonesia berhasil membangun reputasi internasional yang kuat, terutama dibandingkan Malaysia. Pertama, strategi pertahanan Indonesia bersifat konkret dan berjangka panjang. Lewat kerja sama alutsista dengan Prancis yang mencakup alih teknologi dan produksi bersama, Indonesia menegaskan dirinya sebagai mitra strategis di kawasan.
Sementara Malaysia tidak memiliki proyek pertahanan besar yang sebanding. Kedua, konsistensi kebijakan luar negeri Indonesia menunjukkan fokus pada diplomasi ekonomi hijau, akselerasi IEU-CEPA, dan dorongan masuk ke dalam keanggotaan OECD.
Sebaliknya, Malaysia dinilai belum optimal memanfaatkan posisinya sebagai Ketua ASEAN untuk pengaruh global. Terakhir, faktor kepemimpinan menjadi pembeda penting. Gaya Presiden Prabowo yang tegas, strategis, dan visioner, seperti dalam pidatonya di Universitas Sorbonne, menunjukkan narasi kepemimpinan global yang kuat, berbeda dengan Anwar Ibrahim yang dinilai terlalu fokus pada isu-isu regional.