
Deretan Program Prabowo yang Berpotensi Menggerus Fiskal di 2026
- Dalam dokumen itu, pemerintah menyampaikan bahwa implementasi berbagai program prioritas Prabowo dapat menambah tekanan terhadap APBN, terutama jika tidak dijalankan secara optimal
Makroekonomi
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti sejumlah risiko fiskal yang muncul dari program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto pada tahun 2026.
Pandangan Sri Mulyani tertuang dalam dokumen resmi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, yang menjadi acuan awal penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun tersebut.
Dalam dokumen itu, pemerintah menyampaikan implementasi berbagai program prioritas Prabowo dapat menambah tekanan terhadap APBN, terutama jika tidak dijalankan secara optimal.
Pemerintah juga mengakui adanya potensi risiko penurunan penerimaan negara atau meningkatnya belanja negara yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang cukup.
“Risiko pelaksanaan atas program dan kebijakan mencakup di antaranya potensi berkurangnya penerimaan negara atau tambahan beban bagi APBN,” tulis dokumen tersebut, Kamis, 22 Mei 2025.
Risiko Ketahanan Energi dan Subsidi
Salah satu perhatian utama adalah sektor ketahanan energi. Fluktuasi harga energi global, khususnya minyak, dapat berdampak langsung pada kenaikan beban subsidi energi seperti bahan bakar minyak (BBM), gas LPG 3 kilogram, dan listrik.
Selain itu, pemerintah menilai pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), termasuk program insentif biodiesel, juga akan memerlukan anggaran tambahan dalam bentuk kompensasi fiskal.
- Hambat Pertumbuhan, INDEF Dukung Langkah Deregulasi PP 28/2024
- Banyak Kasus Keracunan, BGN Minta Dana Tambahan Rp2,69 Triliun untuk BPOM
- Korupsi Sritex, Berikut Sumber Kekayaan Iwan Setiawan Lukminto
Pembiayaan Perumahan Masih Bergantung APBN
Program pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) juga menjadi sorotan. Hingga kini, sektor ini masih sangat bergantung pada anggaran negara, termasuk melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap APBN, pemerintah mendorong sinergi antara insentif fiskal, seperti pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dengan skema pembiayaan yang lebih efisien.
Koperasi Desa dan Keseimbangan Fiskal
Program Koperasi Desa Merah Putih, yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat desa dan mengurangi angka kemiskinan, dinilai membutuhkan pengelolaan fiskal yang cermat.
Meskipun potensial menciptakan dampak positif di level desa, program ini juga memerlukan alokasi anggaran yang berkelanjutan agar tidak mengganggu stabilitas fiskal jangka menengah.
Utang dan Mandatory Spending Menggerus Ruang Fiskal
Selain belanja yang meningkat, kebutuhan pembiayaan melalui utang juga menjadi perhatian. Pemerintah mengakui bahwa pembiayaan jangka menengah masih cukup tinggi, sehingga diperlukan strategi diversifikasi sumber pembiayaan secara kreatif dan inovatif, termasuk mendorong partisipasi sektor swasta dan lembaga internasional.
Mandatory spending atau belanja wajib, seperti alokasi minimal 20% APBN untuk sektor pendidikan, juga menjadi tantangan tersendiri. Ruang fiskal menjadi semakin terbatas, terlebih di tengah gejolak nilai tukar, bunga global yang tinggi, serta harga minyak dunia yang tidak stabil, semuanya berdampak pada subsidi energi dan pembayaran utang.
Data terbaru menunjukkan bahwa utang pemerintah Indonesia per Januari 2025 mencapai Rp8.909,14 triliun. Angka ini meningkat sebesar 1,22% dibandingkan posisi pada Desember 2024. Mayoritas utang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.868,46 triliun, dengan sebagian besar SBN diterbitkan di pasar domestik.
- Hambat Pertumbuhan, INDEF Dukung Langkah Deregulasi PP 28/2024
- Banyak Kasus Keracunan, BGN Minta Dana Tambahan Rp2,69 Triliun untuk BPOM
- Korupsi Sritex, Berikut Sumber Kekayaan Iwan Setiawan Lukminto
Sementara itu, pinjaman pemerintah tercatat sebesar Rp1.040,68 triliun, yang mencakup pinjaman luar negeri. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan berada pada kisaran 37,82% hingga 38,71%.
Meskipun masih di bawah batas aman menurut Undang-Undang Keuangan Negara (60% dari PDB), tren kenaikan utang ini menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam menyusun kebijakan fiskal di era pemerintahan Prabowo-Gibran.
Pemerintah dituntut menjaga keseimbangan antara ambisi program prioritas dengan kemampuan fiskal negara agar tidak menimbulkan tekanan utang yang berlebihan di masa depan.
KEM-PPKF 2026 menjadi sinyal penting bahwa program-program besar pemerintahan baru harus dijalankan dengan efisiensi dan kehati-hatian. Pemerintah saat ini mengingatkan bahwa keberhasilan transformasi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat hanya bisa tercapai bila ditopang dengan kebijakan fiskal yang sehat dan berkelanjutan.