
Dari Usir Paksa hingga Ambil Alih Gaza: Jejak Kontroversi Trump Sepanjang 2025
- Dalam berbagai pertemuan, wawancara, dan pernyataan publik sejak Januari 2025, Trump terus mendorong gagasan pemindahan warga Gaza secara permanen, dengan mengklaim bahwa kawasan tersebut “tak lagi layak huni”
Tren Global
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah lama mencuri perhatian dunia internasional lewat pernyataan-pernyataannya terkait konflik Gaza dan nasib warga Palestina.
Dalam berbagai pertemuan, wawancara, dan pernyataan publik sejak Januari 2025, Trump terus mendorong gagasan pemindahan warga Gaza secara permanen, dengan mengklaim bahwa kawasan tersebut “tak lagi layak huni” dan menyarankan negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania untuk menjadi lokasi relokasi.
25 - 31 Januari : Lobi Mesir dan Yordania
Usulan awal disampaikan pada 25 Januari 2025, ketika Trump menyarankan Mesir dan Yordania menerima warga Gaza yang terdampak konflik. Ia mengusulkan relokasi jangka panjang ke wilayah lain yang dianggap “lebih damai”. Gagasan ini terus diulang pada 27, 30, dan 31 Januari, meskipun kedua negara tersebut telah menyatakan penolakan terhadap skenario pemindahan warga Palestina.
"Saya ingin Mesir menerima orang, dan saya ingin Yordania menerima orang dari Gaza, Itu benar-benar lokasi pembongkaran... jadi saya lebih suka terlibat dengan beberapa negara Arab dan membangun perumahan di lokasi berbeda" ujar Trump kepada Raja Yordania Abdullah, dari Yordaniam dikutip Selasa, 8 Juli 2025.
4-5 Februari : “Ambil Alih Gaza” dan Skema Relokasi Permanen
Pada 4 Februari, Trump melontarkan pernyataan yang lebih tegas. Di siang hari, ia menyebut relokasi harus bersifat permanen karena Gaza “tidak layak dihuni”. Di malam harinya, Trump bahkan menyatakan bahwa AS akan “mengambil alih” Gaza pascaperang dan mengelola wilayah itu, termasuk menangani bom yang belum meledak. Ia juga meminta negara-negara Arab kaya untuk membiayai kehidupan warga Palestina di luar Gaza.
"AS akan mengambil alih Jalur Gaza. ... Kami akan memilikinya dan bertanggung jawab untuk membongkar semua bom berbahaya yang belum meledak dan senjata lainnya di lokasi tersebut." ungkap Trump didepan media.
Pernyataan ini menuai reaksi tajam, hingga pada 5 Februari seorang ajudan Trump mencoba meredam kritik dengan menyebut bahwa rencana tersebut bersifat sementara dan AS tidak berniat mengirim pasukan secara langsung. Namun sehari kemudian, Trump kembali menegaskan bahwa AS akan tetap memegang kendali atas Gaza setelah konflik usai, dan warga Palestina akan dipindahkan ke komunitas baru yang “aman”.
10 Februari : Penolakan Hak Kembali dan Permukiman Baru
Pernyataan paling kontroversial datang pada tanggal 10 Februari, saat wawancara dengan Fox News. Trump menolak konsep hak kembali bagi warga Palestina dan menyebut akan membangun permukiman permanen bagi mereka. Sehari setelahnya, dalam pertemuan dengan Raja Yordania, Trump kembali menegaskan tekadnya untuk “mengambil, memegang, dan menghargai” Gaza, sambil menyatakan tidak akan menggunakan tekanan bantuan dana sebagai alat diplomasi ke Mesir dan Yordania.
"Tidak, mereka (Palestina) tidak akan memilikinya (Gaza) karena mereka akan memiliki perumahan yang jauh lebih baik." ujar Trump kembali.
7 April : Gaza sebagai "Real Estate Penting" & Penolakan Rekonstruksi
Pada tanggal 7 April 2025, dalam pertemuan kedua dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump menyebut Gaza sebagai “real estate penting” yang layak dikuasai oleh AS. Ia kembali mendorong relokasi warga Palestina, sementara Netanyahu dan Trump sama-sama menolak rencana rekonstruksi Gaza senilai $53 miliar yang diajukan Mesir jika tidak disertai relokasi permanen warga.
“Dan jika Anda mengambil orang-orang, orang-orang Palestina, dan memindahkan mereka ke berbagai negara, dan Anda memiliki banyak negara yang akan melakukan itu.banyak orang menyukai konsep saya. Namun, Anda tahu, ada konsep lain yang saya sukai juga dan ada beberapa konsep yang tidak saya sukai." ungkap Trump kepada awak media kembali.
7 Juli : Relokasi, Netanyahu, dan Solusi Dua Negara
Isu ini kembali mencuat dalam pertemuan ketiga mereka pada Senin, 7 Juli 2025 kemarin, ketika Trump merujuk kembali pada Netanyahu mengenai rencana relokasi. Netanyahu menegaskan bahwa jika warga Palestina ingin keluar dari Gaza, mereka harus diberi izin. Israel dan AS disebut sedang mencari negara-negara yang bersedia menerima warga Gaza. Namun, ketika ditanya soal solusi dua negara, Trump menolak memberikan jawaban dan menyerahkan persoalan itu sepenuhnya kepada Netanyahu.
"Kami bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk menemukan negara yang akan berusaha mewujudkan apa yang selalu mereka katakan, bahwa mereka ingin memberi Palestina masa depan yang lebih baik. Saya pikir kami hampir menemukan beberapa negara." ungkap Netanyahu dalam pertemuan di Gedung putih.
Dalam pertemuan ini Trump juga mendorong kesepakatan gencatan senjata di Gaza. Trump menyatakan optimisme bahwa tidak ada hambatan besar menuju perdamaian, bahkan menyebut Hamas menunjukkan niat untuk melakukan gencatan senjata dan bertemu dalam pembicaraan damai.
Namun, yang mengejutkan, Netanyahu dalam kesempatan tersebut mengumumkan bahwa dirinya telah menominasikan Trump untuk meraih Hadiah Nobel Perdamaian, dengan alasan bahwa Trump telah berhasil “menempa perdamaian” di sejumlah kawasan selama masa jabatannya.
Di sisi lain, Netanyahu menegaskan kembali penolakannya terhadap terbentuknya negara Palestina yang utuh. Ia menyatakan bahwa Israel tidak akan pernah melepas kendali keamanan atas Gaza.
Seluruh rangkaian pernyataan Trump memicu kecaman global. Banyak pihak menilai usulan relokasi warga Palestina sebagai bentuk pembersihan etnis (ethnic cleansing), yang jelas-jelas dilarang dalam hukum kemanusiaan internasional. Pemindahan paksa penduduk sipil dari wilayah konflik dianggap sebagai pelanggaran serius Konvensi Jenewa.