Presidential Suite - 1.jpg
Tren Ekbis

Dari Tambang ke Tempat Tidur Mewah: Kenapa Konglomerat Gemar Bikin Hotel?

  • Mereka yang dulunya berkutat dengan produksi massal, industri berat, atau jaringan ritel, kini malah berlomba membangun hotel-hotel mewah dengan segala kemilau dan prestige-nya.

Tren Ekbis

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Setelah menguasai dunia lewat bisnis energi, tambang, ponsel, atau bahkan mi instan, banyak konglomerat—baik dari luar negeri maupun Indonesia—mulai melirik dunia yang jauh lebih “lembut”: bisnis perhotelan. 

Mereka yang dulunya berkutat dengan produksi massal, industri berat, atau jaringan ritel, kini malah berlomba membangun hotel-hotel mewah dengan segala kemilau dan prestige-nya.

Pertanyaannya: kenapa mereka berlomba-lomba mendirikan hotel setelah kekayaan mereka sudah menggunung?

Fenomena ini bukan sekadar tren iseng. Banyak konglomerat menganggap hotel sebagai aset properti premium yang bisa menghasilkan pendapatan jangka panjang, sekaligus jadi simbol gengsi yang tak terbantahkan. Hotel, terutama yang berada di lokasi strategis atau punya konsep unik, bisa jadi sumber cashflow stabil, bahkan di saat bisnis inti mereka mengalami tekanan.

Menurut laporan dari Deloitte dan PwC, sektor perhotelan dianggap sebagai instrumen investasi yang menjanjikan dalam konteks inflasi dan fluktuasi ekonomi global. Hotel dianggap sebagai “safe haven asset” bagi pemilik kekayaan besar.

Konglomerat Global: Hotel Sebagai Simbol dan Strategi

Ambil contoh Bill Gates. Pendiri Microsoft ini memang sudah pensiun dari dunia teknologi, tapi dana investasinya, Cascade Investment, membeli mayoritas saham Four Seasons Hotels & Resorts. Alasannya? Hotel mewah punya pelanggan loyal, nilai jual tinggi, dan jadi simbol eksklusif yang tak bisa digantikan oleh aplikasi mana pun.

Lalu ada Mukesh Ambani, orang terkaya di Asia asal India. Setelah mendominasi pasar energi dan telekomunikasi lewat Reliance Industries, ia membangun Jio World Centre lengkap dengan fasilitas hotel konvensi mewah di Mumbai, bahkan masuk sebagai investor di Oberoi Hotels, salah satu jaringan hotel premium di India.

Di Meksiko, Carlos Slim—raja telekomunikasi—berinvestasi di sejumlah hotel butik dan properti heritage. Sementara Richard Branson dari Inggris, dengan brand Virgin-nya, bikin Virgin Hotels yang mengusung gaya hidup milenial dan pelancong digital. Konsepnya? Gabungan antara kenyamanan, digitalisasi, dan personalisasi.

Indonesia Nggak Mau Kalah

Kalau di dalam negeri, nama-nama besar juga tak ketinggalan.

1. Chairul Tanjung (CT Corp)

Raja ritel dan media ini merambah dunia hospitality lewat The Trans Luxury Hotel, Trans Resort Bali, dan jaringan hotel lainnya yang terintegrasi dengan mall dan taman hiburan. Strateginya adalah sinergi: tamu hotel bisa sekalian belanja di Trans Studio Mall, atau bermain di Trans Studio Theme Park. Full package!

2. Hary Tanoesoedibjo (MNC Group)

Melalui MNC Land, ia membangun kawasan megaproyek Lido City lengkap dengan Trump International Hotel & Golf Club, serta meresmikan Park Hyatt Jakarta yang jadi landmark luxury hotel di Ibu Kota. Visi besarnya? Menyatukan media, pariwisata, dan hospitality dalam satu ekosistem.

3. Mochtar Riady (Lippo Group)

Melalui Aryaduta Hotels, Lippo Group memanfaatkan jaringan township seperti Lippo Village untuk mengintegrasikan hotel, rumah sakit, sekolah, dan mall dalam satu kawasan. Model ini dinilai efektif dalam menciptakan captive market.

4. Anthoni Salim (Salim Group)

Walaupun lebih kalem dalam branding, Salim Group melalui lini properti dan joint venture-nya ikut terlibat dalam pembangunan kawasan bisnis di Jakarta dan Bali yang di dalamnya terdapat properti hotel premium. Jangan lupa, grup ini juga terhubung dengan proyek di SCBD yang menaungi beberapa hotel bintang lima.

5. Sukanto Tanoto (Royal Golden Eagle)

Konglomerat di sektor pulp, energi, dan agribisnis ini berinvestasi pada properti mewah dan hotel melalui berbagai entitas grup. Fokus utamanya adalah menciptakan nilai jangka panjang dan menjaga kelestarian aset.

Kenapa Hotel Jadi Pilihan? Ini Dia Alasannya

Berdasarkan studi dari CBRE Hotels dan laporan tahunan oleh Knight Frank Wealth Report, setidaknya ada lima alasan utama kenapa konglomerat besar cenderung tertarik masuk ke bisnis perhotelan setelah jadi kaya:

  1. Diversifikasi Portofolio: Menyebar risiko bisnis dengan menaruh dana di sektor yang berbeda dari lini utama.
  2. Aset Fisik Jangka Panjang: Hotel merupakan aset properti yang nilainya cenderung naik, terutama di lokasi emas.
  3. Peluang Brand Extension: Nama besar seperti Trans atau MNC bisa makin kuat kalau punya hotel sendiri.
  4. Sinergi Lintas Industri: Hotel bisa mendukung bisnis lain seperti pariwisata, hiburan, hingga kuliner.
  5. Prestise dan Networking: Hotel sering jadi tempat berkumpulnya elite, diplomat, hingga artis dunia. Membangun hotel = membangun jaringan.

Apa Tren ke Depan?

Para analis memprediksi bahwa tren hotel milik konglomerat akan makin kuat di masa depan. Bahkan, akan muncul bentuk-bentuk baru seperti:

  • Smart hotels dengan AI dan Internet of Things (IoT)
  • Eco-friendly hotels dengan standar keberlanjutan tinggi
  • Co-living dan hybrid space untuk digital nomads dan pekerja remote
  • Hotel modular yang cepat dibangun, terutama di kawasan wisata baru

Apa yang dilakukan para konglomerat ini menunjukkan satu hal: setelah cash flow aman, mereka cari legacy dan prestige. Hotel bukan sekadar bisnis tidur dan makan. Ini soal membangun pengalaman, warisan, dan dominasi merek di ruang yang lebih elegan.

Jadi, kalau kamu suatu saat menginap di hotel mewah dengan nama belakang Trans, Park Hyatt, Aryaduta, atau Virgin, ingatlah—itu bukan sekadar tempat tidur empuk. Itu adalah bukti nyata bahwa kekayaan, kalau dimanfaatkan dengan cerdas, bisa jadi kerajaan bisnis yang makin luas dan menyentuh berbagai aspek hidup manusia.