
Dari Soeharto ke Prabowo: Era Presiden Mana yang Bikin Rakyat Bernapas Lebih Lega Secara Ekonomi?
- IHSG yang melesat bisa menandakan kepercayaan pasar, tapi rakyat juga melihat soal lain harga kebutuhan pokok, daya beli, upah riil, lapangan kerja, hingga inflasi yang menggigit dompet sehari-hari.
Tren Ekbis
JAKARTA – Dari Orde Baru hingga awal pemerintahan Prabowo Subianto, Indonesia telah melalui pasang surut ekonomi yang panjang. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sering dijadikan patokan “sukses” ekonomi presiden, tapi naiknya angka di bursa tidak selalu sejalan dengan kualitas hidup rakyat.
IHSG yang melesat bisa menandakan kepercayaan pasar, tapi rakyat juga melihat soal lain harga kebutuhan pokok, daya beli, upah riil, lapangan kerja, hingga inflasi yang menggigit dompet sehari-hari. Berikut kilas balik kondisi ekonomi Indonesia di bawah para presiden sejak Soeharto hingga Prabowo dan seberapa lega rakyat bisa bernapas di eranya.
- Plus-Minus iPhone 17, Andalan Baru Apple yang Segera Rilis
- Sejarah Panjang Del Monte, Produsen Makanan Kaleng yang di Ambang Pailit
- Tiba-tiba Menggila, Simak Cara Membaca Reli Harga Emas Terbaru
Soeharto (1983–1998): Stabil, Tapi Timpang
Di era Orde Baru, ekonomi tumbuh pesat dengan PDB 7–8% per tahun. IHSG pun naik 345% sepanjang periode 1983–1998. Namun stabilitas itu mahal harganya. Inflasi cukup tinggi, berkisar 9–11% setiap tahun, membuat harga kebutuhan pokok kerap naik tajam.
Pertumbuhan ekonomi tersentralisasi dan lebih banyak dinikmati elite, sementara upah riil pekerja biasa stagnan. Akses pendidikan dan kesehatan terbatas, terutama bagi rakyat kecil. Singkatnya, ekonomi tumbuh, tapi tidak semua orang kebagian napas lega.
Habibie (1998–1999): Singkat Tapi Menyelamatkan
Naik saat Indonesia limbung akibat krisis moneter, Habibie menghadapi inflasi ekstrem 77% dan pertumbuhan ekonomi anjlok -13%. Dalam setahun, inflasi ditekan tajam jadi 2%. PDB mulai bangkit dari -13% ke +0,8%, IHSG naik 31%, menandai kembalinya kepercayaan pasar, reformasi ekonomi dijalankan paralel dengan demokratisasi. Dan pendek, tapi jadi titik balik selamat dari krisis.
Gusdur (1999–2001): Reformasi Politik, Ekonomi Masih Rapuh
Era Gusdur diwarnai reformasi politik yang kencang, tapi ekonomi masih goyah. IHSG turun 20% di tengah ketidakpastian.
Pertumbuhan ekonomi naik ke 4,9%, tapi inflasi bertahan 9–12%, kurs rupiah fluktuatif, daya beli masyarakat naik turun. Semangat perubahan tinggi, tapi stabilitas ekonomi belum kokoh.
Megawati (2001–2004): Pelan Tapi Stabil
Megawati memimpin di fase pemulihan pasca-krisis. IHSG naik 79% selama pemerintahannya. Pertumbuhan ekonomi stabil di 4–5%, inflasi turun ke 5%. Infrastruktur dasar mulai dibangun. Kelas menengah tumbuh, tapi pengangguran masih tinggi, dan rakyat kecil belum merasakan banyak perubahan. Transisi ke arah lebih tenang, tapi belum nyaman.
SBY (2004–2014): Napas Rakyat Lebih Panjang
Era SBY sering dikenang sebagai masa ekonomi relatif “lega”. IHSG melejit 500% sepanjang 10 tahun. PDB konsisten tumbuh 5–6%, inflasi stabil 5–7%. Program-program sosial seperti BOS, BLT, dan JKN membantu rakyat bawah.
Kemiskinan turun dari 16% ke 11%, upah riil naik, daya beli meningkat. Birokrasi dibenahi, ekonomi tumbuh, rakyat merasa hidup lebih enteng.
Jokowi (2014–2024): Infrastruktur Masif, Dompet Makin Tipis?
Jokowi fokus pada pembangunan infrastruktur dan penanganan pandemi. IHSG naik 54% selama 10 tahun, lebih moderat dibanding era SBY. Ekonomi sempat kontraksi -2,1% pada 2020 karena pandemi, lalu pulih ke 5% pada 2023. Inflasi rata-rata lebih terkendali 2–3% dan utang naik signifikan dari Rp2.600 triliun 2014 ke sekitar Rp8.000 triliun 2024.
Kritik utama adalah upah riil stagnan, harga kebutuhan naik, sehingga banyak merasa pengeluaran membengkak sementara pemasukan tak ikut naik. Jalan mulus, tapi dompet rakyat makin tipis.
Prabowo (2024–?): Arah Masih Dinanti
Pemerintahan Prabowo baru dimulai, tapi tantangan sudah menumpuk. IHSG masih fluktuatif, belum menunjukkan tren pasti. Beban utang tinggi, risiko perubahan iklim, dan tantangan ekonomi digital menunggu solusi konkret.
Publik menanti kebijakan yang bukan hanya mendongkrak angka makro, tapi juga membuat hidup sehari-hari lebih ringan. Baru mulai, tapi ekspektasi rakyat sudah tinggi.
Naiknya IHSG memang bisa menandakan kepercayaan pasar, tapi pertanyaan besarnya tetap sama di tiap rezim, apakah pertumbuhan itu membuat rakyat lebih lega dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Dari Soeharto hingga Prabowo, jawaban atas pertanyaan itu berubah-ubah. Tapi satu hal pasti ekonomi yang sehat bukan cuma soal pasar naik, melainkan apakah rakyat betul-betul bisa bernapas lebih lega.