
Dari Desa ke Dunia: Kisah Adena Coffee yang Angkat Derajat Petani Lokal
- Tahun ini, Adena mendapatkan dukungan dari Bank DBS Indonesia melalui skema blended finance senilai SGD 2 juta atau sekitar Rp24 miliar. Skema ini merupakan kombinasi antara dana hibah dan pembiayaan lunak tanpa jaminan. Adena menjadi penerima pertama skema ini, setelah sebelumnya lolos seleksi ketat dalam DBS Foundation Grant Program.
Tren Inspirasi
JAKARTA - Kalau kamu pikir semua soal kopi itu cuma tentang coffee shop kekinian, Adena Coffee bakal mengubah persepsimu. Di balik secangkir kopi yang enak, ada ribuan petani yang bekerja keras—dan Adena hadir untuk memastikan kerja keras mereka nggak sia-sia.
Adena Coffee bukan coffee shop, bukan juga roastery. "Kalau es kopi susu itu ibarat nasi goreng, maka kami bukan yang bikin nasi goreng, tapi yang nyuplai berasnya," kata Abyatar, Founder dan CEO Adena Coffee dalam acara peresmian kerja sama Blended Finance DBS Indonesia di Jakarta, Selasa, 24 Juni 2025.
Adena adalah pengolah kopi di titik tengah—middle stream—yang menghubungkan petani di hulu dan para roaster, coffee shop, sampai ke tangan konsumen.
- Cara Baru Hemat Uang Makan: Gabungkan Bulk Buy dan Pangan Lokal
- Biaya Perang Israel Sehari Bisa Bikin 53 Konser BLACKPINK di Jakarta
- Bukan Cuma Timteng, Efek Perang Bisa Sampai ke Harga Nasi Gorengmu
Dari Riset Sosial Jadi Bisnis Berdampak
Perjalanan Adena dimulai dari riset sosial Abyatar saat kuliah di Yogyakarta. Ia tinggal selama tiga bulan di Gayo, Aceh, dan melihat langsung bagaimana petani kopi hidup dalam keterbatasan. Dari pengalaman itulah, lahir semangat untuk membangun ekosistem kopi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Kini, Adena bekerja sama dengan lebih dari 2.000 petani di lebih dari 30 desa yang tersebar di Gayo, Flores, Bali, Jawa Barat, dan Lintong (Sumatera Utara). Salah satu proyek unik mereka ada di Wae Rebo, Flores, bekerja bersama masyarakat adat.
Tahun ini, Adena mendapatkan dukungan dari Bank DBS Indonesia melalui skema blended finance senilai SGD 2 juta atau sekitar Rp24 miliar. Skema ini merupakan kombinasi antara dana hibah dan pembiayaan lunak tanpa jaminan. Adena menjadi penerima pertama skema ini, setelah sebelumnya lolos seleksi ketat dalam DBS Foundation Grant Program.
Angela Thenaria, Executive Director Head of SME Banking Bank DBS Indonesia menjelaskan, "UMKM menyerap 97% tenaga kerja di Indonesia, tapi banyak yang belum bankable. Apalagi wirausaha sosial. Skema ini jadi solusi konkret untuk memperkecil risiko perbankan dan tetap mendorong pertumbuhan berkelanjutan."
Dana hibah yang diterima Adena akan digunakan untuk:
- Mengembangkan perangkat lunak kepatuhan terhadap European Deforestation Regulation (EUDR)
- Mendirikan Pusat Produksi dan Pelatihan Serbaguna
- Membangun wet mill dan fasilitas fermentasi
- Memberikan pelatihan intensif kepada 500 petani di Gayo, Flores, Bali, dan Jawa Barat
"Tantangan terbesar kami adalah membangun hubungan jangka panjang dengan petani. Kami ingin meningkatkan harga jual dan produktivitas di tingkat petani, tapi ini pekerjaan besar yang tidak bisa hanya dibebankan ke mereka," kata Abyatar.
Latihan Lapangan, Bukan Hanya Formalitas
Adena menolak sistem pelatihan yang sekadar formalitas administrasi. Mereka membalik pendekatan: hanya petani yang masuk ke dalam jaringan suplai Adena yang akan mendapatkan pelatihan intensif.
"Alih-alih pelatihan massal satu hari, kami lakukan pelatihan berhari-hari. Tim DBS cukup sabar mendukung ini. Relasi kami dengan petani lebih netral dan adil," ungkap Abyatar.
Cerita tentang Babo Gabriel, petani berusia 80 tahun di kaki Gunung Kelimutu, Flores, menjadi simbol pendekatan personal Adena. Meski tangannya gemetar, Babo tetap berkontribusi membalik kopi yang sedang dijemur—dan justru gerakannya membantu proses tersebut. Pendekatan seperti ini menunjukkan bahwa Adena melihat potensi dari sisi manusiawi, bukan hanya teknis.
Baca Juga: Dari Jaksel ke Seoul, Ini Perjalanan Andanu Prasetyo Rintis Kopi Tuku
Transparansi dan Sertifikasi
Untuk menjamin transparansi, Adena rutin merilis impact report tahunan. Selain itu, mereka telah tersertifikasi sebagai B Corp, lembaga independen yang menilai aspek ESG (Environmental, Social, and Governance) secara objektif.
"Kami juga membangun origin dari komunitas, seperti di Kampung Kenalan, Gayo. Awalnya tidak ada yang mau beli kopi dari sana karena stigma zona merah. Tapi kami percaya membangun identitas kampung adalah langkah jangka panjang," ujar Abyatar.
Kini, setidaknya lima pembeli rutin membeli kopi dari Kampung Kenalan, padahal sebelumnya tidak ada sama sekali.
Dukungan Sosial untuk Komunitas
Dukungan Adena ke komunitas tak berhenti di pelatihan kopi. Di Flores, mereka mendirikan program after-school bernama KOPINTAR (Kopi-Pintar), agar anak-anak punya aktivitas positif usai sekolah. Tujuannya membentuk persepsi baru bahwa menjadi petani adalah profesi bermakna.
Di Gayo, Adena bahkan mendukung tim sepak bola lokal karena memahami pentingnya identitas kampung dalam kohesi sosial. Semua ini menunjukkan bahwa Adena tidak melihat kopi hanya sebagai komoditas, tetapi juga medium pembangunan komunitas.
Setiap wilayah punya tantangan unik. Misalnya, di Flores, pengairan jadi isu karena posisi desa di atas mata air. Adena pun menciptakan proses pengolahan kopi tanpa air, dan mengembangkan pasarnya sendiri.
Di Bali, fermentasi kopi terkendala jadwal adat. Adena harus fleksibel dan mencari solusi teknis. "Agri-culture itu nempel sama culture," kata Abyatar. Hal-hal ini menunjukkan bahwa pendekatan textbook tidak selalu cocok diterapkan di Indonesia.
Kopi Indonesia: Mahal, tapi Bernilai Tinggi
Harga kopi Indonesia relatif lebih mahal dibanding Brasil atau Vietnam karena produktivitas rendah. Namun, rasa dan diversitas geografis serta kultural membuat kopi Indonesia tidak tergantikan.
"Kopi Indonesia itu selalu habis. Kami nggak bilang kopi Indonesia terbaik di dunia, tapi karakternya cocok dengan selera masyarakat dunia," ujar Abyatar.
- Perjalanan Yovie Widianto: Dari Kahitna jadi Komisaris Pupuk Indonesia
- CDIA Disuntik Kredit 3 Bank Raksasa Jelang IPO, Apa Artinya bagi Investor?
- Jakarta Menuju 500 Tahun: Saatnya Ekonomi Kreatif Jadi Solusi Anak Muda
Dana Hibah: Bukan Sekadar Uang, Tapi Tanggung Jawab
Terkait dana hibah dan pinjaman dari DBS, Adena bertanggung jawab memberikan laporan keuangan setiap 3 bulan. "Targetnya jelas, misalnya harus berdampak ke 500 petani. Tapi metodenya fleksibel dan bisa didiskusikan," jelas Abyatar.
Yang penting bagi Adena, dana ini bisa digunakan untuk memastikan kopi petani terbeli. "Itu jaminan paling dasar bagi petani. Kerja keras mereka harus dibayar."
Anak Muda Bisa Bikin Perubahan
Adena Coffee membuktikan bahwa anak muda bisa jadi penggerak perubahan lewat kekayaan lokal. Lewat pendekatan sosial, keberlanjutan, dan strategi bisnis yang matang, mereka mampu menciptakan dampak nyata—bukan hanya di komunitas, tapi juga di dunia.
Jadi, kalau kamu masih ragu memulai usaha berbasis lokal, mungkin kisah Adena bisa jadi inspirasi. Karena kopi bukan cuma soal rasa, tapi juga soal cerita di balik secangkirnya.