Artificial-Intelligence-in-Indonesia-The-current-state-and-its-opportunities.jpeg
Tren Global

Dampak Tersembunyi AI, Berpotensi Jadi Bencana Lingkungan

  • Kecanggihan AI membawa ancaman ekologis besar. Pusat data AI diprediksi konsumsi 1.000 TWh listrik pada 2026 dan 6,6 miliar m³ air pada 2027, memicu bencana lingkungan seperti polusi, limbah elektronik, dan krisis energi

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Di balik kecanggihan kecerdasan buatan (AI) yang kian mendominasi berbagai sektor kehidupan, terdapat potensi bencana lingkungan yang mengejutkan dan kerap luput dari perhatian publik. 

Pusat data (data center) yang menjadi otak dari sistem AI global berpotensi memicu krisis ekologi baru, dari lonjakan konsumsi energi hingga memperparah krisis air bersih di berbagai wilayah. 

Pusat data AI global diperkirakan akan menyedot sekitar 1.000 terawatt-jam (TWh) listrik pada 2026, jumlah yang setara dengan kebutuhan listrik seluruh Jepang. Hanya untuk satu permintaan pada ChatGPT, energi yang digunakan bisa mencapai 10 kali lipat dari pencarian Google biasa. 

Bahkan pelatihan model besar seperti GPT-3 menghasilkan 502 ton CO₂, menyamai emisi 360 penerbangan pulang-pergi London–New York. Tak hanya listrik, sistem pendingin server AI juga membutuhkan air dalam jumlah sangat besar. Pelatihan satu model GPT-3 misalnya, memerlukan hingga 700.000 liter air untuk menjaga suhu server tetap stabil. 

Diperkirakan pada tahun 2027, konsumsi air global dari pusat data AI mencapai 6,6 miliar meter kubik, setara dua pertiga konsumsi air tahunan Inggris. Ironisnya, sekitar 50% pusat data AS berada di wilayah yang mengalami kelangkaan air, seperti California dan Arizona.

AI Picu Pencemaran dan Ketimpangan Global

Selain konsumsi energi dan air, keberadaan pusat data AI memicu polusi udara akibat ketergantungan pada PLTU yang menghasilkan PM2.5, NO₂, dan SO₂, zat berbahaya yang memicu hingga 800.000 kematian dini per tahun secara global. 

Belum lagi persoalan limbah elektronik (e-waste) dari perangkat keras AI yang cepat usang, dan deforestasi akibat ekspansi infrastruktur. Profesor di Department of Materials Science and Engineering sekaligus pemimpin Climate Project di Massachusetts Institute of Technology, Elsa A. Olivetti, menekankan penggunaan perangkat teknologi memiliki dampak lingkungan yang jauh lebih luas daripada sekadar konsumsi listriknya. 

Menurutnya, saat seseorang mencolokkan komputer, efek yang timbul tidak berhenti pada energi yang terpakai, melainkan merambat ke tingkat sistem, mencakup rantai pasok energi, proses produksi komponen, serta emisi karbon dari infrastruktur pendukung teknologi digital. 

"Mengembangkan dan menerapkan model AI generatif yang canggih membawa konsekuensi lingkungan yang signifikan. Bukan hanya listrik yang Anda gunakan saat mencolokkan komputer. Ada konsekuensi yang jauh lebih luas yang merambat hingga ke tingkat sistem,” ujar Elsa, dilansir dari laman mit.edu, Rabu, 23 Juli 2025.

Ketimpangan dampak juga mencolok. Negara seperti AS dan China menikmati pertumbuhan teknologi AI, namun beban lingkungan justru dialami oleh negara berkembang seperti di Asia Tenggara dan Afrika. Irlandia bahkan sudah membatasi pembangunan pusat data karena membebani jaringan listrik nasional, mengancam suplai ke rumah sakit dan industri.

Baca Juga: Pertimbangan Etika Artificial Intelligence Berdasar Risiko Pemanfaatannya

Sejumlah solusi seperti pendinginan cair hemat energi (liquid immersion cooling), pengembangan model AI kecil (TinyML), serta penerapan kebijakan insentif energi terbarukan dan daur ulang air sudah tersedia. 

Namun, adopsinya masih rendah. Banyak perusahaan justru memilih “greenwashing” dengan membeli kredit energi hijau virtual tanpa benar-benar mengurangi beban fosil di lapangan.

Alih-alih mengurangi jejak karbon, ekspansi AI justru berkontribusi besar pada emisi global. Google, misalnya, mencatat kenaikan emisi sebesar 20% pada 2023, sebagian besar akibat pengembangan layanan AI. Lebih ironis lagi, 90% pengguna tidak menyadari bahwa satu gambar yang dihasilkan oleh AI setara dengan 1.200 kali pengisian daya ponsel.

Kemajuan AI membawa banyak manfaat. Namun tanpa intervensi kebijakan dan inovasi yang bertanggung jawab, teknologi ini berpotensi mempercepat kerusakan lingkungan. Kini saatnya publik dan pembuat kebijakan menyadari bahwa di balik setiap kecanggihan digital, ada harga ekologis yang harus dibayar.