
Dalam Dua Dekade, Korupsi di BUMN Capai Ratusan Triliun Rupiah
- Selama dua dekade terakhir, korupsi di tubuh BUMN menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah. Dari PT Timah hingga Pertamina, sistem pengawasan dinilai gagal membendung praktik korupsi yang makin meluas.
Tren Ekbis
JAKARTA – Korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Dalam dua dekade terakhir, kasus demi kasus bermunculan, memperlihatkan betapa dalamnya penyakit sistemik yang menggerogoti perusahaan-perusahaan pelat merah Indonesia. Tak hanya menguras keuangan negara, dampaknya menjalar hingga merusak lingkungan, menghancurkan kepercayaan publik, dan melemahkan fondasi ekonomi nasional.
Salah satu kasus paling mencolok adalah skandal korupsi di PT Timah Tbk. Sejak 2015 hingga 2022, perusahaan tambang milik negara ini terlibat dalam praktik tata niaga timah ilegal yang sistematis. Audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencatat bahwa kerugian negara yang ditimbulkan tak kurang dari Rp300 triliun.
Angka fantastis ini mencakup kerugian langsung dari manipulasi sewa smelter dan praktik monopoli pasar, serta kerusakan lingkungan yang meluas di kawasan Bangka Belitung, yang memerlukan biaya pemulihan sangat besar. Dalam sejarah korupsi BUMN, ini menjadi salah satu kasus terbesar, bukan hanya dari sisi nominal, tetapi juga dari skala kehancuran yang ditimbulkan.
- Baca Juga: Dua Wajah Gen Z: Dari Jeruji ke Aksi
Korupsi di BUMN juga menyebar luas ke berbagai sektor. Mahkamah Agung mencatat bahwa sepanjang 2024, terdapat sedikitnya 24 putusan kasus korupsi yang melibatkan pejabat di lingkungan Perum Bulog. Sementara itu, enam putusan dijatuhkan terhadap anak usaha PT PLN, dan lebih dari 500 kasus korupsi tercatat di bank-bank milik pemerintah. Ini memperlihatkan bahwa praktik korupsi tidak hanya terjadi di perusahaan induk, tetapi juga menjalar ke anak-anak usaha dan lini operasional lainnya, menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan kontrol internal yang ada.
Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menambah bukti betapa masifnya persoalan ini. Dalam periode 2016 hingga 2023 saja, tercatat 212 kasus korupsi terjadi di lingkungan BUMN, dengan total kerugian mencapai Rp64 triliun. Dari ratusan kasus tersebut, 349 orang telah ditetapkan sebagai tersangka yang terdiri dari 84 pejabat setingkat direksi, 124 manajer menengah, dan 129 karyawan biasa. Angka ini menggambarkan bahwa korupsi tidak lagi terpusat di pucuk pimpinan, melainkan telah menjadi bagian dari budaya organisasi di banyak BUMN.
Dari sederet kasus yang muncul, lima di antaranya menjadi simbol betapa parahnya krisis tata kelola di tubuh BUMN.
Lima Skandal Korupsi BUMN Terbesar
1. PT Pertamina
Selain PT Timah, ada pula Pertamina, yang tersangkut dua kasus besar: korupsi dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang pada 2018–2023 yang ditaksir menimbulkan kerugian ratusan triliun rupiah, serta kasus pengadaan LNG pada 2011–2014 yang menyeret mantan Direktur Utama Karen Agustiawan dengan kerugian negara sekitar Rp2,1 triliun.
2. PT Asabri
Kemudian muncul skandal PT Asabri, perusahaan asuransi milik negara untuk prajurit TNI dan Polri, yang melibatkan rekayasa investasi oleh petinggi perusahaan dan pihak swasta. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp22,7 triliun.
3. PT Jiwasraya
Tak lama berselang, PT Jiwasraya juga terlibat skandal serupa, dengan praktik investasi bodong yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp16,8 triliun. Kedua kasus ini mengungkap bahwa korupsi di sektor keuangan negara bukan hanya merugikan anggaran, tetapi juga mengorbankan jutaan nasabah yang menggantungkan masa depan mereka pada institusi tersebut.
4. PT Waskita Karya Tbk
Kasus terakhir yang tak kalah mengguncang adalah korupsi di PT Waskita Karya Tbk. Pada 2023, mantan Direktur Utama Destiawan Soewardjono ditangkap KPK bersama sejumlah pejabat lain atas penyalahgunaan dana Supply Chain Financing (SCF), yang merugikan negara sekitar Rp2,5 triliun.
Perusahaan | Periode / Kasus Singkat | Estimasi Kerugian Negara |
---|---|---|
PT Timah Tbk | Korupsi tata niaga timah (2015–2022), kerusakan lingkungan, smelter rusak | ≈ Rp 300,003 triliun (audit BPKP) |
PT Pertamina (Persero) | Kasus pengelolaan minyak mentah (2018–2023); impor BBM subsidi tercampur | Kerugian negara + ekonomi: ≈ Rp 285 triliun |
PT Asabri (Persero) | Investasi fiktif dan penyalahgunaan dana pensiun (2012–2019) | ≈ Rp 22,7 triliun |
PT Jiwasraya | Investasi manajerial buruk → gagal bayar (mulai 2012) | ≈ Rp 16,8 triliun |
PT Waskita Karya Tbk | Penyalahgunaan dana SCF (2023), ditangkap eks Dirut Destiawan Soewardjono | ≈ Rp 2,5 triliun |
Tumpulnya Penegakan Hukum
Sayangnya, di tengah kondisi ini, regulasi hukum justru mengarah ke arah yang mengkhawatirkan. Revisi Undang-Undang BUMN melalui UU Nomor 1 Tahun 2025 membawa perubahan penting yang dipersoalkan banyak pihak. Dalam undang-undang baru tersebut, kerugian yang dialami BUMN tidak lagi dianggap sebagai kerugian negara, sementara direksi dan komisaris BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
ICW menyatakan bahwa ketentuan ini membuka celah besar bagi pelaku korupsi untuk lolos dari jerat hukum, karena status mereka tidak lagi berada dalam wilayah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Meski demikian, KPK menyatakan bahwa pihaknya tetap memiliki wewenang untuk menyidik dan menindak praktik korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN. Namun, para pegiat antikorupsi tetap waspada. Mereka menilai bahwa perubahan status hukum ini berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam hal pembuktian unsur kerugian negara di pengadilan.