
COVID-19 Merebak Lagi, Pernah Bikin Rugi RI Rp1.356 T dalam Setahun
- Dampak pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak 2020 masih menyisakan luka dalam perekonomian nasional. Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat pada tahun pertama pandemi, Indonesia mengalami kerugian ekonomi sebesar Rp1.356 triliun, atau setara 8,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Nasional
JAKARTA - Pandemi COVID-19 kembali menjadi perhatian global setelah lonjakan kasus terpantau di sejumlah negara Asia sejak pekan ke-12 tahun 2025. Berdasarkan data terkini, peningkatan kasus signifikan terjadi di Thailand, Hongkong, Malaysia, dan Singapura.
Meski angka kematian dan tingkat keparahan penyakit masih tergolong rendah, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan tetap mengeluarkan imbauan untuk meningkatkan kewaspadaan.
Di Thailand, varian XEC dan JN.1 menjadi penyebab utama peningkatan kasus, sementara Singapura didominasi oleh varian LF.7 dan NB.1.8 yang merupakan turunan dari JN.1. Hongkong juga mencatat dominasi JN.1, dan Malaysia melaporkan XEC sebagai varian yang paling banyak ditemukan. Meski transmisi virus meningkat, sebagian besar kasus yang tercatat tergolong ringan hingga sedang.
"Varian COVID-19 dominan yang menyebar di Thailand adalah XEC dan JN.1, di Singapura LF.7 dan NB.1.8 (turunan JN.1), di Hongkong JN.1, dan di Malaysia adalah XEC (turunan JN.1). Meski demikian transmisi penularannya masih relatif rendah, dan angka kematiannya juga rendah," jelas Plt. Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes, Murti Utami, di Jakarta, dikutip 2 Juni 2025.
Di Indonesia, situasi COVID-19 masih dalam kendali. Pada minggu ke-20 tahun 2025, kasus positif tercatat hanya sebanyak tiga kasus, mengalami penurunan drastis dibanding 28 kasus pada minggu sebelumnya. Positivity rate Indonesia juga rendah, yakni hanya 0,59 persen, dengan varian MB.1.1 sebagai strain yang paling banyak ditemukan.
Sebagai langkah antisipatif, Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan surat edaran yang memuat sejumlah imbauan penting kepada masyarakat dan tenaga kesehatan.
Di antaranya adalah ajakan untuk memantau informasi resmi mengenai COVID-19 melalui kanal pemerintah dan WHO, serta meningkatkan kewaspadaan dini terhadap tren penyakit seperti ILI (Influenza-Like Illness), SARI (Severe Acute Respiratory Infection), pneumonia, dan COVID-19 melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR).
Kemenkes juga mengingatkan pentingnya penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), mencuci tangan dengan sabun (CTPS), menggunakan hand sanitizer, dan memakai masker ketika sakit atau berada di kerumunan.
Masyarakat diminta segera mengakses fasilitas kesehatan apabila mengalami gejala pernapasan atau memiliki riwayat kontak erat dengan pasien positif. Deteksi dan respons dini sesuai protokol kesehatan masih menjadi kunci utama dalam mencegah lonjakan kasus lebih lanjut.
- Tren Rokok Ilegal Naik, Kenaikan Cukai Tinggi Jadi Sorotan Serius
- Ancaman PHK Mengintai Industri Iklan Akibat PP 28/2024
- Gema Dividen Jelang RUPST BUMN Tambang: PTBA, ANTM, atau TINS Mana Paling Royal?
Kerugian Ekonomi Capai Ribuan Triliun
Di sisi lain, dampak pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak 2020 masih menyisakan luka dalam perekonomian nasional. Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat pada tahun pertama pandemi, Indonesia mengalami kerugian ekonomi sebesar Rp1.356 triliun, atau setara 8,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Kalau kita estimasi dari hilangnya kesempatan kita meraih pertumbuhan ekonomi yang tahun 2020, sebelum Covid-19 ditargetkan 5,3%, kemudian berakhir -2%, maka nilai ekonomi yang hilang akibat Covid-19 diestimasi sebesar Rp 1.356 triliun," papar Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Angka tersebut mencerminkan hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi, dari yang seharusnya tumbuh 5,3% menjadi kontraksi sebesar -2%. Untuk meredam guncangan tersebut, pemerintah mengandalkan APBN sebagai instrumen countercyclical yang menyokong sektor kesehatan dan perlindungan sosial.
Belanja negara pada tahun itu meningkat sebesar Rp284,2 triliun (naik 12,3% secara tahunan), sementara pendapatan negara turun Rp312,8 triliun (turun 16% secara tahunan).
Hal ini menyebabkan defisit anggaran yang cukup besar, memaksa pemerintah untuk meningkatkan utang neto hingga Rp1.226,8 triliun (setara 7,8% dari PDB), dengan beban bunga utang mencapai Rp38,6 triliun.
Kondisi fiskal ini memperlihatkan betapa beratnya beban negara dalam menanggulangi dampak pandemi. Namun, pemerintah menegaskan bahwa defisit anggaran direncanakan akan kembali ke level normal, yaitu di bawah 3% dari PDB, pada tahun 2023.
Meski utang publik meningkat, secara relatif posisi fiskal Indonesia masih dianggap moderat dibandingkan negara-negara G20 dan kawasan ASEAN lainnya. Kombinasi antara lonjakan kasus COVID-19 di Asia dan pengalaman pahit ekonomi akibat pandemi menjadi pengingat penting bagi Indonesia untuk tetap waspada.
Meski angka kasus di dalam negeri tergolong rendah, kesiapan sistem kesehatan dan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan tetap harus dijaga agar kejadian serupa tidak kembali menimbulkan dampak yang destruktif, baik dari sisi kesehatan publik maupun ekonomi nasional.