Konsep Hybrid BCA .jpg
Perbankan

Catat Efisiensi Tertinggi, BCA Ungkap Strategi Jaga Likuiditas di Tengah Ketidakpastian Suku Bunga

  • Dalam tren penghimpunan dana, Jahja mengakui bahwa pertumbuhan deposito individu mengalami tekanan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya instrumen investasi lain yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi dibanding deposito bank.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja, menyampaikan pandangannya terkait arah kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) dan strategi BCA dalam menjaga likuiditas di tengah ketidakpastian global. Dalam penjelasannya, Jahja juga menguraikan tren dana pihak ketiga (DPK) dan pertumbuhan kredit di awal tahun 2025.

Terkait proyeksi suku bunga acuan BI ke depan, Jahja menegaskan bahwa BCA tidak berspekulasi atau mendahului otoritas moneter.

“Kalau mengenai kenaikan atau penurunan BI Rate, itu wewenang Bank Indonesia. Mereka memiliki data yang lebih lengkap untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam menjaga stabilitas moneter, inflasi, dan nilai tukar,” ujar Jahja dalam konferensi pers paparan kinerja BCA kuartal I-2025 yang diselenggarakan secara virtual, Rabu, 23 April 2025.

Menurutnya, pelaku bisnis akan merasa nyaman jika pergerakan nilai tukar tidak terlalu fluktuatif. Ia menambahkan, ketidakpastian nilai tukar seringkali menyulitkan pengusaha dalam melakukan transaksi ekspor-impor karena risiko nilai tukar yang sulit diprediksi.

Likuiditas Perbankan Nasional Mulai Ketat, Tapi Masih Aman

Jahja juga menyoroti kondisi likuiditas secara industri. Berdasarkan data terakhir, rasio pinjaman terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) industri perbankan telah mencapai 89% pada akhir 2023.

“Normalnya LDR di kisaran 82%. Jadi 89% itu sudah cukup tinggi, menandakan likuiditas mulai mengetat. Tapi secara industri, likuiditas masih mencukupi,” jelas Jahja.

Namun, ia menegaskan bahwa kondisi setiap bank berbeda-beda tergantung pada karakteristik DPK dan agresivitas dalam menyalurkan kredit.

Tren Pertumbuhan Kredit dan DPK Masih Seimbang

BCA memproyeksikan pertumbuhan kredit tahun ini berada di kisaran 6–8%, sejalan dengan proyeksi pertumbuhan DPK yang juga sekitar 7%. Menurut Jahja, keseimbangan ini penting agar tidak terjadi ketimpangan antara permintaan kredit dan dana yang tersedia.

“Kalau kredit tumbuh 15% dan DPK hanya 5%, itu baru akan menimbulkan tekanan likuiditas,” ungkapnya.

Deposito Mengalami Tantangan, CASA Jadi Andalan

Dalam tren penghimpunan dana, Jahja mengakui bahwa pertumbuhan deposito individu mengalami tekanan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya instrumen investasi lain yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi dibanding deposito bank.

“Kompetisi di deposito sangat ketat. Banyak individu yang punya dana berlebih lebih memilih instrumen investasi lain yang lebih menarik,” katanya.

Meski begitu, BCA tetap berhasil mempertahankan dana deposito sebesar Rp214 triliun tanpa memberikan suku bunga khusus.

Di sisi lain, dana murah atau CASA (giro dan tabungan) justru mengalami pertumbuhan yang menggembirakan. Pada kuartal I 2025, CASA tumbuh 6%, sedangkan deposito hanya 2,2%.

“Karena biaya dana dari CASA jauh lebih murah dibanding deposito, tren ini sangat positif bagi BCA,” terang Jahja.

Efisiensi Jadi Kunci, Cost Income Ratio Tercatat Terendah

Dengan struktur dana yang lebih efisien, BCA berhasil menekan biaya dana dan biaya operasional. Ini terlihat dari pencapaian cost to income ratio (CIR) sebesar 28,6% pada kuartal I 2025 — yang disebut Jahja sebagai yang terendah dalam sejarah BCA.

“Ini pertama kalinya kita mencatat CIR di bawah 30%. Padahal standar global sekitar 45–50%. Ini bukti efisiensi yang kita capai,” ujar Jahja.

Kinerja ini turut mendorong pertumbuhan laba bersih BCA sebesar 9,8% secara tahunan pada kuartal pertama 2025.

Rasio LDR BCA di Level Sangat Aman

Lebih lanjut, Jahja menegaskan bahwa kondisi likuiditas BCA tergolong sangat sehat. Per akhir Maret 2025, LDR BCA tercatat hanya 76% — jauh di bawah rata-rata industri sebesar 89%.

“Artinya kita sangat liquid. Kredit kita hanya naik 2,1%, sedangkan DPK kita naik rata-rata 5,3%. Jadi tidak ada tekanan dari sisi pendanaan,” tutup Jahja.