Cara Cek BSU 2025.
Kolom & Foto

BSU 2025, Program Mulia yang ‘Tersesat’ di Lapangan

  • Pemberian BSU sebenarnya merupakan salah satu langkah stimulus pemerintah yang diluncurkan sejak 5 Juni 2025, menysuul maraknya gelombang PHK dan tekanan ekonomi pasca efisiensi anggaran pemerintah baru-baru ini. Akan tetapi faktanya, niat mulia tersebut masih menghadapi berbagai masalah klasik.

Kolom & Foto

Adhitya Noviardi

Tahun ini, pemerintah kembali menyalurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) 2025. Pelaksanaan program ini dilakukan melalui kerja sama antara Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan, dan PT Pos Indonesia, dimulai efektif pada 3 Juli 2025.

Penyalurkan BSU 2025 sebesar Rp600.000 dilakukan kepada 8,3 juta pekerja hingga awal Juli 2025. Angka ini secara data, baru sekitar 48% dari total 17,3 juta pekerja/buruh yang menjadi target penerima BSU tahun 2025, yang merupakan pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta serta 565.000 guru honorer, sesuai Permenaker No. 5/2025

Sesuai janji pemerintah, penyaluran BSU 2025 pun dilakukan secara bertahap, melalui dua mekanisme: rekening bank Himbara (BRI, BNI, Mandiri, BTN, BSI Aceh) sejak Juni dan langsung via Kantor Pos sejak 3 Juli 2025. Anggaran subsidinya diketahui diambil dari alokasi anggaran pemerintah dari APBN 2025 sebesar Rp10,7 triliun

Menurut Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli, sebagian besar yang belum tersalur melalui jejaring PT Pos Indonesia karena memerlukan verifikasi berlapis agar bantuan tepat sasaran.

Pemerintah melakukan validasi ketat terhadap data calon penerima – mencocokkan NIK dan data BPJS Ketenagakerjaan, memastikan rekening aktif, serta menghindari duplikasi dengan bansos lain. Dengan mekanisme ganda ini, pemerintah berharap target penerimaan BSU 2025 dapat terlayani secepatnya.

Pencairan BSU Lambat

Hanya saja, kita lihat dampaknya adalah angkah verifikasi ini membuat proses pencairan menjadi lebih lambat, namun dari sisi tujuan diharapkan menjamin tepat sasaran. Dan pemerintah pun merasa  optimistis penyaluran BSU 2025 akan mencapai 100% dari target dalam beberapa tahap ke depan, mengacu pengalaman BSU sebelumnya.

Kalau kita lihat dari sisi tujuan, pemberian subsidi ini sebenarnya merupakan salah satu langkah stimulus pemerintah yang diluncurkan sejak 5 Juni 2025, menysuul maraknya gelombang PHK dan tekanan ekonomi pasca efisiensi anggaran pemerintah baru-baru ini.

Akan tetapi faktanya, niat mulia tersebut masih menghadapi berbagai masalah klasik. Merujuk data BSU 2024, hampir 30% penerima subsidi ternyata tidak memenuhi kriteria. Banyak dari mereka tercatat sebagai penerima meskipun memiliki penghasilan di atas batas maksimal Rp3,5 juta per bulan. 

Hal ini karena belum sinkronnya data BPJS Ketenagakerjaan dan Dukcapil. Bahkan dalam evaluasi program sebelumnya, pernah ditemukan kasus penerima tak sesuai kriteria. 

Misalnya, BPK mencatat 22.000 ASN menerima BSU pada tahun 2021. Di lapangan, terungkap pula sejumlah PNS yang sempat menerima BSU 2022 karena terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan – seperti 88 PNS Pemkot Parepare yang kemudian diminta mengembalikan dana BSU karena bantuan salah sasaran.

Semoga saja, peran PPATK yang membekukan 10 juta rekening yang dinilai tidak layak menerima penyaluran dana bantuan subsidi ini dapat membantu kian memperkecil penyalahgunaan penggunaan anggaran subsidi pemerintah.

Belum cukup sampai di situ, masih terdapat masalah lain yang tak kalah pelik dalam mekanisme pencairan yang tidak inklusif. Kenapa demikian? Karena sebagian besar pekerja informal yang dinilai layak menerima, tidak memiliki rekening bank, padahal itu menjadi syarat utama pencairan BSU. 

Menurut Data Survei Indikator Politik Indonesia 2025 hanya sekitar 40% pekerja sektor informal yang bisa menerima BSU. Di luar persoalan teknis, potensi penyalahgunaan anggaran pun, sebetulnya masih menjadi momok. 

Masih lekat dalam ingatan kita kasus korupsi BSU di Jawa Barat pada 2023, di mana dana Rp12,5 miliar diselewengkan oleh oknum aparat. Apalagi dalam pilpres tahun kemarin yang memanfaatkan bansos sebagai salah satu instrument kampanye untuk memenangkan calon tertentu.

Kondisi ini, jika terus dibiarkan, rasanya akan terus membuat masyarakat semakin apatis. Banyak yang merasa program subsidi hanya sekadar formalitas yang tidak adil. Sementara dari sisi anggaran, pembiayaan BSU membengkak hingga Rp8,5 triliun, tetapi dampaknya belum dirasakan optimal.

Akar Masalah

Kalau kita cermati, ada beberapa persoalan yang akar masalah penyaluran BSU yang tidak tepat sasaran seperti: 

  • Masih terdapatnya kebijakan bantuan sosial yang tumpang tindih antara BSU, BLT, PKH, dan bansos lain yang tidak terintegrasi.
  • Sistem verifikasi data yang masih lemah dan tidak sinkron secara real-time antara BPJS, Dukcapil, dan bank.
  • Minimnya pengawasan dan audit ketat saat penyaluran di daerah.

Lalu, apa solusinya?

Sebenarnya langkah-langkah perbaikan sudah sangat jelas. Pemerintah sudah paham, tinggal memberanikan diri untuk memastikan berjalannya :

Pertama, Integrasi data secara menyeluruh antara BPJS, Dukcapil, dan otoritas pajak, agar tidak lagi terjadi data ganda atau penerima fiktif.

Kedua, memudahkan pencairan dana dengan menggunakan dompet digital atau opsi lain yang lebih ramah bagi pekerja informal yang belum memiliki rekening bank. Tentunya dengan menunjuk bank Mandatori pemerintah.

Kalau pun ingin mewajibkan rekening, pemerintah bisa membuat kebijakan pembukaan rekening secara otomatis dengan prosedur sederhana.

Ketiga, meningkatkan transparansi dengan membangun dashboard publik yang dapat diakses secara real-time. Ini akan memudahkan masyarakat untuk ikut berpattisipasi dalam mengawasi siapa saja penerima BSU 2025 yang berhak.

Keempat, memperkuat pengawasan dan sanksi hukum. Korupsi dalam penyaluran bantuan sosial semestinya dihukum lebih tegas karena menyangkut hajat hidup banyak orang. Sistem penegakan hukum dengan hukum sosial yang lebih tinggi rasanya akan menjadi alat yang terbaik untuk pengawasan atas program-program subsidi tersebut.

Yang pasti, kita harapkan keberlanjutan program subsidi langsung tersebut hanya untuk jangka pendek dan bersifat stimulus. Karena jika terus diberikan BSU 2026, 2027, dan 2028, tanpa evaluasi, subsidi akan menjadi beban anggaran yang tidak produktif. Ini sama saja menambah resiko pengelolaan anggaran di masa mendatang.

Mungkin sudah waktunya pemerintah kembali memastikan pengalihan subsidi menjadi bantuan pelatihan keterampilan yang berbasis kebutuhan nyata pekerja. Bukan kepada apa program yang bisa dan harus disiapkan oleh pemerintah.

Rasanya tanpa transparansi dan akuntabilitas, BSU hanya akan menjadi proyek rutin yang sarat masalah dan minim dampak. BSU akan terus menjadi program mulia yang tersesat di lapangan.

Ibarat obat deman, BSU hanya akan meredakan, bukan menyembuhkan penyakit. Sudah waktunya beralih ke program jangka Panjang, produktif, yang justru bedampak positif untuk peningkatan kompetensi Masyarakat Indonesia.