<p>Kantor PT Timah di kawasan Gambir Jakarta Pusat. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Korporasi

BPK Soroti Tambang Ilegal di Wilayah TINS, Menteri BUMN Didesak Ambil Tindakan Tegas

  • Temuan BPK juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara luas IUP yang dimiliki TINS dan realisasi produksi aktual.

Korporasi

Alvin Bagaskara

JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya potensi kerugian signifikan yang dialami oleh perusahaan tambang pelat merah, PT Timah Tbk (TINS). Situasi ini diakibatkan oleh kehilangan kendali terhadap sumber daya timah di wilayah konsesinya.

Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2024, BPK mencatat bahwa potensi kerugian yang ditanggung oleh emiten TINS mencapai Rp34,49 triliun. Kerugian ini berkaitan langsung dengan lemahnya pengamanan di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), yang turut memicu maraknya aktivitas penambangan ilegal.

Temuan BPK juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara luas IUP yang dimiliki TINS dan realisasi produksi aktual. Ketimpangan ini memperkuat dugaan bahwa sebagian besar wilayah tambang telah disusupi oleh praktik penambangan ilegal yang tidak terpantau secara memadai.

Sebagai informasi, TINS merupakan salah satu anggota Mining Industry Indonesia (MIND ID), yakni holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor pertambangan. Meski mengelola salah satu konsesi pertambangan timah terbesar di Indonesia, volume produksi yang dilaporkan oleh TINS tidak sebanding dengan luasnya wilayah tambang yang dikuasai.

Oleh karena itu, BPK secara khusus merekomendasikan Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengambil langkah tegas. Rekomendasi tersebut adalah mendorong pemerintah agar segera mengambil alih tanggung jawab penuh atas pengamanan di seluruh wilayah tambang TINS sebagai fondasi awal penataan.

Selanjutnya, untuk penataan ulang bisnis pertambangan timah yang lebih komprehensif, terutama di Bangka Belitung, BPK juga menekankan urgensi koordinasi. Sinergi antara Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, dan aparat penegak hukum diminta untuk memprioritaskan penertiban terhadap perusahaan swasta serta smelter yang diduga mengolah timah dari hasil tambang ilegal.

Manajemen TINS Akui Tambang Ilegal Masif 

Sebelumnya, Direktur Utama TINS, Restu Widiyantoro, secara terbuka mengakui bahwa penambangan ilegal telah menjadi ancaman besar bagi kelangsungan operasional perusahaan. Dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI pada 14 Mei 2025, ia menyampaikan bahwa aktivitas ilegal di dalam WIUP TINS berlangsung dalam skala besar dan sulit dikendalikan, hingga membuat sebagian wilayah operasional tak lagi berada sepenuhnya di bawah manajemen perusahaan.

Restu menambahkan bahwa situasi ini telah menimbulkan kerugian sistemik, mulai dari kerusakan lingkungan hingga hilangnya cadangan timah yang sah. Ia menyebut bahwa sejak mencuatnya kasus hukum yang melibatkan Harvey Moeis dan sejumlah pihak lainnya, kendali operasional TINS semakin melemah. “Ini menjadi tanggung jawab kami ke depan untuk melakukan penertiban secara menyeluruh,” ujarnya.

Sebaran Tambang Ilegal Semakin Luas

Data perusahaan menunjukkan bahwa aktivitas tambang ilegal tersebar luas di wilayah WIUP TINS, baik di darat maupun di laut. Pada Januari 2025, ditemukan 317 titik tambang ilegal di darat Bangka, 962 di laut Bangka, dan 39 di darat Belitung. Namun, upaya penertiban baru menjangkau 380 titik secara total.

Pada bulan berikutnya, Februari 2025, jumlah tambang ilegal melonjak menjadi 404 titik di darat Bangka, 1.001 di laut Bangka, dan 46 di darat Belitung. Akan tetapi, penertiban hanya dilakukan terhadap 80 titik. Tren serupa berlanjut hingga Maret dan April 2025, dengan angka tambang ilegal yang masih tinggi dan penertiban yang minim. Kondisi ini menunjukkan betapa sulitnya menangani masifnya operasi tambang liar.

Tak Pernah Tercapai dalam Empat Tahun Terakhir

Kondisi tersebut berdampak langsung pada performa operasional TINS yang terus menurun dalam empat tahun terakhir. Restu menyampaikan bahwa sejak 2021, realisasi produksi bijih timah perusahaan selalu berada di bawah target Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang telah ditetapkan.

Pada 2021, target produksi sebesar 47.281 ton hanya terealisasi sebesar 24.670 ton. Tahun 2022 targetnya 45.000 ton, namun realisasinya hanya 20.079 ton. Tahun 2023 dan 2024 pun menunjukkan hasil serupa dengan realisasi produksi yang kurang dari setengah target. Di tahun 2025, target produksi dipatok 20.000 ton, namun hingga kuartal I, TINS baru memproduksi 3.215 ton.

Restu mengakui, capaian tersebut menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh manajemen. “Kami menyadari sepenuhnya bahwa ini menjadi PR besar yang harus kami tuntaskan untuk mencapai target tahunan perusahaan,” tutupnya.