
Bitcoin Tembus Harga Tertinggi Baru, Apakah Akan Lanjut Naik atau Jatuh?
- Perlu dicatat bahwa volatilitas tetap tinggi, dan keputusan The Fed serta data inflasi mendatang akan sangat menentukan arah pasar ke depan.
Tren Pasar
JAKARTA - Bitcoin kembali bikin kejutan! Aset kripto terbesar ini sukses mencatatkan rekor harga tertinggi sepanjang masa di level US$112.000 atau sekitar Rp1,81 miliar (kurs Rp16.218) pada Kamis, 10 Juli 2025. Dalam sehari saja, Bitcoin naik hampir 3%, memperkuat tren bullish yang sudah berlangsung sejak kuartal kedua 2025.
Lonjakan harga ini nggak datang begitu saja. Ada faktor besar yang mendorongnya, yaitu ekspektasi pasar terhadap kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed), dan juga tensi geopolitik yang meningkat akibat kebijakan tarif perdagangan agresif dari Presiden AS, Donald Trump.
Rilis risalah rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bulan Juni jadi salah satu pemicu awal kenaikan harga BTC. Dalam risalah tersebut, mayoritas pejabat The Fed memproyeksikan setidaknya satu kali pemangkasan suku bunga pada tahun 2025.
- Kebingungan Pekerja Muda Saat BSU Tak Kunjung Cair
- Startup Inggris Ini Bawa Tempe Indonesia Jadi Superfood yang Dicari-cari di Eropa
- Dari Soeharto ke Prabowo: Era Presiden Mana yang Bikin Rakyat Bernapas Lebih Lega Secara Ekonomi?
Beberapa bahkan menyatakan kemungkinan penurunan bisa dilakukan lebih cepat, yakni pada rapat 30 Juli 2025—tentu saja, tergantung pada data inflasi terbaru.
Menurut Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, lonjakan ini mencerminkan antisipasi investor terhadap pelonggaran kebijakan moneter yang bisa menambah likuiditas di pasar. “Level US$112.000 menjadi area psikologis penting, dan kalau momentum ini berlanjut, BTC bisa menguji resistensi berikutnya di kisaran US$115.000 hingga US$118.000,” jelasnya melalui hasil riset yang diterima TrenAsia, Kamis, 10 Juli 2025.
Sementara itu, permintaan terhadap ETF spot Bitcoin di Amerika Serikat juga ikut meroket. Aliran dana masuk ke ETF tersebut mencapai US$80,6 juta pada 9 Juli, yang turut mendorong harga BTC ke level tertinggi.
Namun, meski ada akumulasi dari investor jangka panjang maupun pendek berdasarkan data on-chain, analis memperingatkan bahwa volume perdagangan spot di bursa masih lemah. Artinya, reli ini belum sepenuhnya ditopang oleh partisipasi pasar ritel.
CPI dan Keputusan The Fed Jadi Penentu Arah Berikutnya
Pasar sekarang sedang menanti dua momen penting: rilis data Indeks Harga Konsumen (CPI) bulan Juni pada 11 Juli, dan keputusan suku bunga The Fed pada 30 Juli. Keduanya dianggap sebagai sinyal krusial untuk masa depan kebijakan moneter AS.
“Kalau data CPI menunjukkan inflasi terus melandai, peluang pemangkasan suku bunga makin terbuka lebar. Ini bisa memperkuat sentimen positif terhadap aset kripto,” tambah Fyqieh.
Tapi tunggu dulu, ini belum selesai. Ada faktor lain yang bikin situasi makin kompleks: Donald Trump dan kebijakan tarif dagangnya.
Baca Juga:
Trump Kembali Panaskan Perdagangan Global
Presiden AS Donald Trump bikin headline lagi dengan kebijakan perdagangan super agresif. Dia mengumumkan tarif baru sebesar 50% untuk produk tembaga impor, dan bahkan mengancam tarif hingga 200% untuk produk farmasi kalau perusahaan obat nggak mindahin produksinya ke dalam negeri dalam waktu satu tahun.
Nggak cuma itu, Trump juga menetapkan tarif tambahan 10% untuk India dan Indonesia karena keterlibatannya dalam kelompok BRICS. Uni Eropa juga ikut kena semprot, menyusul ketegangan soal pajak digital dan denda terhadap perusahaan teknologi AS.
Menurut Fahmi Almuttaqin, Analis Reku, kebijakan ini bikin harga tembaga melonjak dan pasar saham sektor farmasi terguncang. “Kebijakan tarif ini nambah ketidakpastian global. Investor jadi makin resah, dan ini bisa jadi pemicu banyak orang lari ke aset safe haven seperti Bitcoin,” jelas Fahmi.
Bitcoin sebagai Aset Safe Haven di Tengah Ketidakpastian
Di tengah kebijakan dagang yang bikin pasar volatile dan The Fed yang masih tarik-ulur soal suku bunga, Bitcoin mulai menunjukkan perannya sebagai aset lindung nilai alias safe haven. Semakin banyak investor, terutama institusional, yang mulai memanfaatkan momen ini untuk akumulasi jangka panjang.
Data dari CryptoQuant menunjukkan bahwa rasio outflow/inflow BTC kini berada di level 0,9, terendah sejak akhir bear market 2022. Artinya, lebih banyak Bitcoin yang keluar dari bursa dan masuk ke wallet pribadi atau institusional—indikasi kuat adanya strategi akumulasi.
Fahmi menambahkan bahwa bahkan lebih dari 19.400 BTC dari dompet lama (3–7 tahun) dipindahkan ke dompet institusional. “Pergerakan ini menandakan penempatan strategis besar oleh pelaku pasar besar, dan memperkuat argumen bahwa harga sekarang adalah dasar yang kuat untuk potensi reli berikutnya,” jelasnya.
Strategi Investasi: Saatnya DCA dan Diversifikasi?
Dengan semua dinamika ini, banyak investor mulai mempertimbangkan strategi Dollar-Cost Averaging (DCA)—alias nyicil beli Bitcoin atau aset kripto lainnya secara bertahap. Kenapa? Karena meski volatilitas jangka pendek masih tinggi, tren jangka panjang terlihat menguat.
Buat yang pengen DCA tapi nggak mau ribet, fitur seperti Packs di Reku bisa jadi solusi. Investor bisa beli beberapa kripto unggulan seperti Bitcoin, Ethereum, Solana, dan lainnya sekaligus dalam satu klik. Plus, ada fitur Rebalancing otomatis yang bantu nyesuaiin alokasi aset sesuai kondisi pasar.
“Dengan begitu, strategi DCA jadi lebih praktis, optimal, dan cocok banget buat investor pemula maupun yang udah berpengalaman,” tambah Fahmi.
Analisis Teknikal: Masih Ada Potensi Naik?
Secara teknikal, Bitcoin saat ini sedang menguji resistensi di US$112.500. Kalau berhasil menutup harga di atas level ini, BTC berpotensi lanjut naik ke US$115.000 bahkan hingga US$118.000. Tapi kalau gagal bertahan, support terdekat ada di US$110.800 dan US$109.750.
Indikator RSI masih di atas level 50 dan MACD menunjukkan sinyal bullish, yang berarti tren jangka pendek masih positif.
- Anjing Robot Polisi Rp3 M, Uang Segitu Bisa Buat Nikah, Kuliah, dan Beli Rumah!
- RIP Diogo Jota, Ini Daftar Pemain Bola Terkenal yang Meninggal karena Kecelakaan
- Info Saham Hari Ini: IHSG Wait and See, Cermati AMRT, ICBP, dan PGEO
Momentum atau Euforia Sesaat?
Lonjakan harga Bitcoin ke US$112.000 ini bukan cuma hasil spekulasi semata. Ada kombinasi faktor kuat yang mendasarinya: ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed, ketegangan geopolitik akibat tarif Trump, dan akumulasi institusional yang makin nyata.
Namun, perlu dicatat bahwa volatilitas tetap tinggi, dan keputusan The Fed serta data inflasi mendatang akan sangat menentukan arah pasar ke depan.
Buat kamu yang mau mulai investasi kripto, sekarang bisa jadi waktu yang menarik—tapi jangan lupakan manajemen risiko. Seperti kata para analis: akumulasi boleh, tapi tetap cermat.