
Berpeluang Gabung IMF Meski Ditentang China, Ini Keuntungan Ekonomi yang Didapat Taiwan
- Taiwan didukung AS untuk masuk IMF, China mengecam keras dan peringatkan AS soal prinsip satu China. Ini potensi manfaat dan risiko keanggotaan Taiwan.
Tren Global
JAKARTA - Ketegangan antara Amerika Serikat dan China kembali meningkat setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS mengesahkan undang-undang yang mendukung keanggotaan penuh Taiwan di Dana Moneter Internasional (IMF). Langkah ini memicu kritik keras dari Beijing yang menegaskan kembali prinsip “Satu China” dan menuduh Washington mencampuri urusan dalam negeri mereka.
Pada tanggal 23 Juni 2025, DPR AS menyetujui Taiwan Non-Discrimination Act of 2025, sebuah undang-undang bipartisan yang diusulkan oleh anggota Kongres Young Kim dan Al Green.
Undang-undang ini menginstruksikan Menteri Keuangan AS untuk mendukung penuh keterlibatan Taiwan dalam IMF, termasuk partisipasi dalam pengawasan ekonomi, perekrutan staf, serta akses terhadap pelatihan dan bantuan teknis. RUU tersebut sebelumnya telah lolos di Komite Layanan Keuangan pada bulan Maret 2025 dan kini menunggu pengesahan penuh di Kongres ke-1510.
Kongres AS menyampaikan argumen bahwa Taiwan merupakan ekonomi terbesar ke-21 di dunia dan produsen utama semikonduktor global, menyumbang sekitar 90% pasokan chip global.
Taiwan dinilai berperan strategis dalam stabilitas ekonomi global, terutama dalam konteks rantai pasok dan teknologi tinggi. Selain dukungan di IMF, Kongres AS juga sebelumnya mendukung Taiwan untuk mengembalikan status pengamat di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2022.
- Cuan Gila di Saham ANTM dan ARCI Ratusan Persen, Masih Berani Serok?
- Harga Sembako di DKI Jakarta: Cabe Rawit Hijau Naik, Kentang (sedang) Turun
- Bank Mandiri Bekali 70 Usahawan Kreatif Naik Kelas di Depok
Respons China, Taiwan Bukan Negara Berdaulat
Sebagai tanggapan, pada hari Kamis, 3 Juli 2025, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menyatakan bahwa Taiwan bukan negara berdaulat dan tidak berhak menjadi anggota organisasi internasional seperti IMF.
Beijing kembali menekankan bahwa Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah China dan bahwa Republik Rakyat China adalah satu-satunya pemerintah sah yang mewakili seluruh China di kancah internasional.
"Taiwan tidak memiliki dasar, alasan, atau hak apa pun untuk bergabung dengan PBB, atau organisasi internasional lainnya yang keanggotaannya terbatas pada negara-negara berdaulat. China mendesak AS untuk mematuhi prinsip satu China," tegasJuru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning kala memberikan keterangan pers di Beijing, dikutip Jumat, 4 Juli 2025.
Pemerintah China menyerukan kepada AS untuk menghentikan dukungan terhadap Taiwan dan tidak menggunakan isu ini sebagai alat campur tangan politik.
China juga memperingatkan agar AS tidak mengirim “sinyal yang salah” kepada pihak-pihak pro-kemerdekaan di Taiwan, yang dapat memicu ketegangan lebih lanjut di kawasan.
"Hentikan penggunaan masalah Taiwan untuk mencampuri urusan dalam negeri China dan hentikan pengiriman sinyal yang salah kepada pasukan separatis demi 'kemerdekaan Taiwan," tambah Mao Ning.
- Cuan Gila di Saham ANTM dan ARCI Ratusan Persen, Masih Berani Serok?
- Harga Sembako di DKI Jakarta: Cabe Rawit Hijau Naik, Kentang (sedang) Turun
- Bank Mandiri Bekali 70 Usahawan Kreatif Naik Kelas di Depok
Dampak Potensial jika Taiwan Bergabung dengan IMF
Secara historis, Taiwan pernah menjadi anggota IMF dan memiliki kursi hingga tahun 1980, sebelum akhirnya dikeluarkan setelah kehilangan keanggotaan di PBB pada tahun 1971.
Saat ini, IMF masih merujuk Taiwan sebagai "Taiwan Province of China". Namun, Taiwan terus melakukan upaya diplomatik untuk kembali menjadi anggota penuh, dengan dukungan terbuka dari Amerika Serikat.
Jika berhasil menjadi anggota penuh, Taiwan akan memperoleh akses ke berbagai manfaat strategis. Pertama, Taiwan dapat memanfaatkan fasilitas dana darurat (rainy-day fund) dari IMF untuk menghadapi ancaman ekonomi, seperti manipulasi nilai tukar atau tekanan pasar dari China.
Laporan Taiwan Academy of Banking and Finance pada 2024 memperingatkan bahwa tanpa dukungan lembaga keuangan global seperti IMF, Taiwan rentan terhadap serangan ekonomi dari Beijing.
Kedua, keanggotaan di IMF dapat meningkatkan legitimasi internasional Taiwan dan membuka pintu bagi partisipasi di organisasi global lainnya seperti WHO dan Interpol. Kosovo, misalnya, menjadi preseden karena berhasil menjadi anggota IMF meski belum diakui oleh PBB.
Ketiga, keikutsertaan Taiwan di IMF dapat memperkuat pengawasan ekonomi global. Sebagai penghasil lebih dari 60% semikonduktor dunia, Taiwan memiliki posisi penting dalam sistem ekonomi internasional. IMF bahkan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Taiwan pada 2025 sebesar 2,9%, lebih tinggi dibandingkan Jepang atau Korea Selatan.
Keempat, Taiwan akan mendapat akses pelatihan, bantuan teknis, dan kuota pekerjaan di lingkungan IMF, yang akan meningkatkan kapasitas kebijakan dan sumber daya manusia di bidang keuangan dan ekonomi.
Meski memiliki dukungan kuat dari AS, upaya Taiwan menghadapi tantangan besar, terutama dari veto politik China. China adalah pemegang kekuatan suara terbesar ketiga di IMF setelah AS dan Jepang, dan memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan.
Saat ini, Wakil Direktur Pelaksana IMF, Bo Li, adalah mantan pejabat Bank Sentral China, yang memperkuat posisi Beijing dalam menolak keanggotaan Taiwan.
Selain itu, meskipun tidak semua anggota IMF harus berstatus negara (seperti Hong Kong dan Makau), keanggotaan penuh tetap memerlukan konsensus politik. Oleh karena itu, meski dukungan AS penting, hal tersebut belum cukup untuk memastikan keberhasilan Taiwan.
Upaya Taiwan untuk bergabung kembali dengan IMF bukan sekadar simbol politik, melainkan bagian dari strategi pertahanan ekonomi jangka panjang terhadap tekanan Beijing.