
Belanja Jadi Pelarian: Self-Reward atau Impulsif Berkedok Apresiasi Diri?
- Di tengah berita buruk soal pemutusan hubungan kerja (PHK), harga beras yang belum turun, dan tagihan listrik yang makin mahal, justru banyak orang khususnya generasi muda yang makin rajin check-out keranjang belanja. Bukan karena kebutuhannya mendesak, tapi karena satu kalimat sakti "Self-reward dulu biar tetap waras."
Tren Ekbis
JAKARTA – Di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), harga beras yang belum juga turun, dan tagihan listrik yang makin membebani, justru banyak orang, khususnya generasi muda yang semakin rajin check-out keranjang belanja. Bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan karena satu kalimat sakti: "Self-reward dulu biar tetap waras."
Tren belanja setelah gajian atau usai menghadapi stres kerja semakin marak. Mulai dari skincare, kopi susu premium, hingga gadget keluaran terbaru, semua seolah sah-sah saja dibeli atas nama “menghargai diri sendiri.” Namun, di tengah ketidakpastian ekonomi, kebiasaan ini pelan-pelan dinormalisasi sebagai bentuk pelarian.
Padahal, situasi ekonomi sedang tidak ramah. Inflasi pangan masih tinggi, nilai tukar rupiah terus tertekan, dan harga BBM berisiko naik akibat konflik geopolitik global. Namun di sisi lain, keinginan untuk menghadiahi diri sendiri justru kian menguat. Apakah ini tanda konsumsi kita makin tak rasional, atau justru bagian dari mekanisme bertahan hidup?
Self-Reward: Apresiasi Diri atau Belanja Tak Terkendali?
Secara psikologis, self-reward memang bisa menjadi bentuk penghargaan atas kerja keras. Namun, masalah muncul ketika konsep ini bergeser menjadi perilaku konsumtif yang impulsif. Survei Populix 2024 mencatat, lebih dari 60% anak muda usia 18–34 tahun pernah membeli barang hanya karena merasa stres atau ingin menghibur diri.
Fenomena ini menunjukkan bahwa belanja telah menjadi pelarian emosional. Momen check-out terasa seperti kemenangan kecil di tengah tekanan hidup. Sayangnya, banyak yang lupa bahwa sensasi bahagia dari belanja hanya bersifat sementara. Sebaliknya, tagihan yang muncul kemudian bisa menambah stres berkepanjangan, terutama jika dilakukan dengan skema PayLater atau cicilan tanpa perhitungan matang.
Gengsi Masih Jadi Dalih
Amali (26), seorang pekerja swasta di Jakarta, mengaku baru saja membeli iPhone 16 meski kondisinya belum benar-benar membutuhkannya.
“Barang paling impulsif yang pernah aku beli ya iPhone 16. Sebenarnya nggak butuh, cuma buat gengsi aja saat nongkrong. Aku satu-satunya yang masih pakai Android di antara teman-teman,” ujarnya kepada TrenAsia.id, Selasa, 24 Juni 2025.
Amali bahkan rela meminjam uang dan mencicil ke ibunya demi bisa membeli perangkat tersebut. Menurutnya, tampilan gaya hidup yang dianggap "naik kelas" masih sepadan meski harus berkorban secara finansial.
Di media sosial, perangkat seperti iPhone, MacBook, atau AirPods bukan lagi sekadar alat bantu kerja, melainkan simbol status. Membelinya sering kali bukan soal fungsi, tapi validasi sosial agar terlihat sukses, produktif, dan on track secara karier. Akibatnya, tak sedikit yang terjebak pada tekanan finansial jangka panjang demi tampilan luar yang seolah “sempurna.”
Diskon dan Konten FYP Picu Belanja Emosional
Cerita lain datang dari Geo (25), seorang social media specialist. Ia mengaku sering kali niat awal hanya ingin “lihat-lihat,” tapi akhirnya pulang dengan kantong bolong.
“Aku cuma mau cari blouse buat kerja. Tapi pas liat ada diskon 70 persen di brand favorit, akhirnya beli 4 atasan dan 2 celana. Totalnya nyaris dua juta. Nggak direncanain, tapi kayak nggak mau nyesel,” ujar Geo.
Ia mengakui bahwa konten OOTD viral dan rekomendasi produk dari TikTok di FYP membuat dorongan belanja tidak lagi datang dari kebutuhan, melainkan dari tekanan sosial dan budaya konsumsi instan. Tanpa sadar, kebiasaan ini menggerus kemampuan menabung—terutama bagi yang masih memiliki penghasilan terbatas.
Tips Aman Belanja di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
- Bedakan Self-Reward dan Belanja Impulsif
Self-reward seharusnya direncanakan dan masuk dalam anggaran, bukan keputusan emosional sesaat. - Buat Pos Belanja Self-Care Maksimal 10% dari Gaji
Ini cukup untuk menjaga kewarasan tanpa mengganggu cash flow bulanan. - Gunakan Wishlist, Jangan Langsung Check-Out
Tunda selama 24 jam. Kalau masih merasa butuh, baru beli. Kalau lupa, artinya memang tidak perlu. - Cek Tabungan dan Cicilan Sebelum Klik Beli
Belanja boleh, asal tetap rasional dan tidak melebihi kemampuan keuangan.
Simpulannya, belanja boleh, self-reward juga sah. Tapi ketika belanja menjadi pelarian dari stres atau ajang unjuk gengsi, kita perlu waspada. Jangan sampai dopamine sesaat hari ini berubah jadi tekanan finansial besok.