
Begini Syarat Wajib Pengembangan Teknologi CTL
JAKARTA – Teknologi Coal to Liquid (CTL) memiliki beberapa syarat untuk dikembangkan lebih lanjut. Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyebut, keekonomian proyek menjadi faktor yang mendasar. Mengutip pernyataannya di akun resmi Instagram @arcandra.tahar, Senin, 8 Maret 2021, ia menjelaskan hasil studi dari Department of Energy Amerika pada 2007, CTL akan ekonomis jika […]
Industri
JAKARTA – Teknologi Coal to Liquid (CTL) memiliki beberapa syarat untuk dikembangkan lebih lanjut. Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyebut, keekonomian proyek menjadi faktor yang mendasar.
Mengutip pernyataannya di akun resmi Instagram @arcandra.tahar, Senin, 8 Maret 2021, ia menjelaskan hasil studi dari Department of Energy Amerika pada 2007, CTL akan ekonomis jika harga minyak lebih tinggi dari US$55 per barel.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
“Di Sasol, misalnya, perusahaan pengolah batu bara, minyak dan gas dari Afrika Selatan ini pada 2017 memilih tidak berinvestasi di CTL karena harga minyak di bawah US$80 per barel,” terang Arcandra.
Adapun yang membedakan limit keekonomian pada rentang 2007 dan 2017, salah satunya dipengaruhi oleh banyaknya persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Hal ini dinilai membuat investasi jadi membengkak.
Kedua, Arcandra melanjutkan, berhubungan dengan ketersedian air. Kebutuhan air pada pengembangan CTL membutuhkan volume yang besar. Selain untuk memproduksi hydrogen, air di sini juga digunakan untuk water cooling.
“Air yang sudah digunakan juga harus ditampung pada saluran pembuangan yang panjang,” tambahnya.
Kemudian ketiga, menyangkut emisi karbondioksida. Di Amerika, emisi gas buang ini harus diproses dengan cara Carbon Capture Utilization Storage (CCUS) di mana biaya proses ini terbilang mahal.
Di sisi lain, harga batu bara yang fluktuatif juga dianggap akan mempersulit keekonomian proyek CTL. Pasalnya, harga komoditas ini tidak selalu mengikuti harga minyak. “Bisa jadi saat harga batu bara naik, harga minyak malah turun,” ungkap Arcandra.
Bagaimana dengan GTL?
Sementara untuk gas alam cair atau GTL, Arcandra mengatakan teknologi ini juga memiliki tantangan tersendiri. Utamanya berkaitan dengan harga gas dan crude oil yang tergantung dari besarnya plant teknologi.
“Misalnya pada saat harga gas sebesar US$4 per MMBTU dan harga crude oil US$40 per BBL, maka kemungkinan besar proyek GTL tidak akan ekonomis,” ungkapnya.
Selain itu, jenis teknologi dan kapasitas produksi juga memengaruhi pengembangan teknologi GTL dari segi besaran Capital Expenditure (Capex) dan Operating Expenditure (Opex). Dengan demikian, secara umum teknologi CTL akan lebih mahal dibandingkan GTL.
CTL, kata Arcandra, juga menghasilkan emisi gas buang yang lebih banyak sehingga merusak lingkungan. Meskipun demikian, semua tergantung dari cadangan Sumber Daya Alam (SDA) sebuah negara.
“Komitmen untuk memelihara lingkungan, tujuan pengembangan teknologi, dan nilai keekonomian yang akan diraih berhubungan dengan strategi sebuah negara,” katanya.