
Bayangkan Jika Semua Orang Punya Kekayaan Setara, Apakah Dunia Akan Lebih Baik?
- Kalau semua orang sudah punya kekayaan yang sama, masih adakah motivasi kerja keras?
Tren Global
JAKARTA - Bayangkan dunia di mana semua orang dewasa punya kekayaan yang sama besar. Tidak ada orang superkaya atau supermiskin. Skenario ini memang terdengar ekstrem, tapi justru bisa membantu kita memahami betapa timpangnya kondisi sekarang.
Menurut World Inequality Lab (WID), 10% orang terkaya di dunia menguasai 76% kekayaan global, sedangkan 50% orang termiskin cuma punya 2%.
Bahkan dari sisi pendapatan, separuh terbawah hanya menerima sekitar US$3.920 per tahun, jauh dari rata-rata global US$23.380. Kondisi ini tidak cuma terjadi di luar negeri—Indonesia juga sama: menurut data World Bank, 20% orang kaya menikmati pertumbuhan, sementara sisanya ketinggalan.
Nah, kalau semuanya setara, apa dunia bakal jadi lebih damai, adil, dan makmur?
- Perjuangan Cicit Pendiri Samsung untuk jadi Idol K-Pop
- Spot untuk Melihat Milky Way di Indonesia
- Kenapa Gula Lebih Bahaya Dibanding Micin?
Tren Jangka Panjang: Ketimpangan Bukan Hal Baru
Ketimpangan kekayaan sudah ada sejak lama. Menurut studi Thomas Piketty dan tim di WID, sejak tahun 1820, distribusi kekayaan dan pendapatan global cenderung condong ke atas. Bahkan saat era kolonial atau pasca-perang dunia, struktur ekonomi tetap hierarkis.
Di Indonesia, Gini ratio—ukuran ketimpangan—pada tahun 2000 berada di level 0,32, dan angkanya naik ke 0,381 pada tahun 2024. Artinya, kesenjangan makin lebar. Jadi, mimpi soal “dunia setara” benar-benar kontras dengan realita hari ini.
Peluang: Konsumsi Meledak, Solidaritas Sosial Naik
Kalau kekayaan global dibagi rata, ada dua peluang besar:
1. Daya beli naik drastis.
Bayangin, orang-orang yang dulu hidup dengan US$3.920 per tahun sekarang bisa belanja seperti rata-rata global (US$23.380). Menurut riset Federal Reserve Richmond, kelompok berpendapatan rendah cenderung lebih konsumtif kalau dapat uang tambahan. Ini bisa memicu ledakan konsumsi global—makanan, pendidikan, layanan kesehatan semua diborong.
2. Kepercayaan sosial tumbuh.
Riset Harvard (Rothstein & Uslaner) menunjukkan bahwa makin setara suatu masyarakat, makin tinggi tingkat kepercayaannya. Kalau semua orang merasa “setara,” solidaritas juga naik. Masyarakat jadi saling dukung, dan kebijakan publik bisa lebih efektif.
Baca Juga: 5 Orang Terkaya Indonesia yang Punya Bisnis Tambang, Ada Low Tuck Kwong
Hambatan: Tanpa Insentif, Apakah Inovasi Masih Jalan?
Tapi jangan buru-buru optimis. Ada hambatan besar juga:
1. Insentif kerja bisa turun.
Kalau semua orang sudah punya kekayaan yang sama, masih adakah motivasi kerja keras? Studi oleh Athreya dkk pada tahun 2017 menyebutkan bahwa redistribusi bisa membuat orang kaya malas kerja dan orang miskin juga ikut santai, sehingga produktivitas turun.
2. Pasar bebas bisa kacau.
Bahkan kalau semua dimulai dari titik yang setara, perilaku manusia yang beda-beda bakal bikin ketimpangan muncul lagi. Ini seperti argumen filsuf Amerika Robert Nozick: kesetaraan tidak akan bertahan lama kalau pasar tetap bebas.
3. Risiko inflasi.
Kalau semua orang belanja besar-besaran sementara pasokan barang terbatas, harga bisa meroket. Sejarah mencatat hal ini pernah terjadi, seperti di Zimbabwe.
Prospek: Dunia Lebih Stabil, Asal Tahu Cara Mainnya
Redistribusi kekayaan bisa jadi kunci pertumbuhan jangka panjang, tapi harus dilakukan dengan cerdas.
Menurut IMF dan World Bank, redistribusi moderat justru memperkuat pertumbuhan ekonomi dan kesehatan sosial/ Kalau negara punya tata kelola yang kuat, dunia yang setara bisa berarti perdamaian global dan demokrasi yang sehat.
Indonesia misalnya, bisa cepat mengangkat jutaan orang dari kemiskinan dan memperkuat stabilitas sosial, asalkan redistribusi dibarengi pendidikan, infrastruktur, dan kebijakan yang tepat.
- Habis Raja Ampat, Terbit Mentawai
- Perjalanan Yovie Widianto: Dari Kahitna jadi Komisaris Pupuk Indonesia
- Kerajaan Saham Prajogo Pangestu Kian Luas, CDIA IPO Siap Gaet Investor Pemula?
Pelajaran dari Masa Lalu: Belajar dari Revolusi Komunis dan Negara Nordik
Sejarah menunjukkan dua hal penting:
1. Revolusi Komunis (Uni Soviet, Tiongkok) memang berhasil menghapus ketimpangan secara cepat, tapi malah stagnan dalam jangka panjang.
2. Negara Nordik (Swedia, Norwegia) berhasil menciptakan kesetaraan moderat lewat pajak progresif dan layanan publik yang kuat, sambil tetap mempertahankan ekonomi pasar.