
Baru IPO Langsung ARB, PMUI Disorot Soal Dana Publik untuk Beli Aset Bos Sendiri
- Dalam prospektusnya, PMUI sebenarnya menargetkan dana segar sekitar Rp116 miliar. Namun rendahnya minat investor menjadi alarm tersendiri, mengingat penjamin emisi harus menanggung 75% saham tak laku.
Tren Pasar
JAKARTA – Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali jadi sorotan publik setelah saham PT Prima Mineral Utama Indonesia Tbk (PMUI) jeblok di hari pertama perdagangan.
Tak sekadar auto rejection bawah (ARB), skema penggunaan dana hasil penawaran umum perdana (IPO) perusahaan ini memicu polemik karena sebagian besar akan digunakan untuk membeli aset milik direktur utamanya sendiri.
PMUI resmi melantai di BEI pada 10 Juli 2025 dengan harga penawaran Rp180 per saham. Emiten ini menawarkan 1,16 miliar lembar saham atau setara 20% dari modal ditempatkan dan disetor.
- 10 Tips Supaya Kamu Nggak Jadi Founder Startup Karbitan
- 5 Profesi Ini Segera Berganti AI, Intip Cara Selamat di Era Akal Imitasi
- Duit THR Meledak jadi 15 Juta di Saham KRAS, Pesta Masih Lanjut?
Tapi penawaran publiknya jauh dari kata sukses. Hanya 25% saham IPO yang berhasil terserap pasar, sisanya ditanggung oleh penjamin emisi dalam skema “full commitment” artinya penjamin wajib membeli sisa saham tak terserap.
Begitu diperdagangkan di pasar reguler, harga PMUI langsung amblas ke batas bawah ARB (Auto Rejection Bawah) sejak pembukaan.
25% Saja yang Terserap, Tanda Pasar Tak Antusias?
Dalam prospektusnya, PMUI sebenarnya menargetkan dana segar sekitar Rp116 miliar. Namun rendahnya minat investor menjadi alarm tersendiri, mengingat penjamin emisi harus menanggung 75% saham tak laku.
Kondisi ini mengindikasikan pasar meragukan prospek bisnis atau tata kelola perusahaan. Kecurigaan itu makin menguat setelah publik membaca detil penggunaan dana IPO yang tercantum di prospektus.
Rp56 Miliar untuk Membeli Aset Milik Direktur Utama Sendiri
Poin paling kontroversial adalah alokasi sekitar 27% dana IPO setara Rp56 miliar yang akan dipakai untuk membeli tanah dan bangunan milik Agus Susanto, yang tak lain adalah Direktur Utama PMUI sendiri.
Properti yang akan dibeli itu berlokasi di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di atas lahan itulah perusahaan merencanakan membangun fasilitas produksi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
Secara hukum, transaksi ini memang diungkapkan dalam prospektus dan dilegalkan sebagai transaksi afiliasi. Tetapi banyak pihak menilai langkah ini seperti “exit strategy elegan” bagi pemilik mayoritas: menjual aset pribadi ke perusahaan publik, lalu dibiayai dari uang investor ritel yang masuk lewat bursa.
Skema Pinjaman ke Anak Usaha Juga Disorot
Kontroversi tidak berhenti di situ. Sekitar 30% dana IPO juga dialokasikan untuk dipinjamkan ke anak usaha PMUI, yakni PT Graha Prima Mentari. Tujuan resmi pinjaman itu adalah untuk membeli lahan sumber mata air dan mesin produksi AMDK.
Dengan kata lain, investor publik yang membeli saham PMUI pada dasarnya membiayai ekspansi anak usaha melalui skema pinjaman intra-grup. Hal ini sah selama transparan, tetapi memperkuat kesan bahwa IPO ini lebih condong untuk menggalang modal murah demi kepentingan internal grup, alih-alih benar-benar memperkuat struktur modal untuk kepentingan publik.
Kritik: Dimana Pengawasan?
Fenomena semacam ini bukan sekali terjadi di BEI. Beberapa tahun terakhir publik kerap mengkritik model IPO yang “hanya ganti kantong”, di mana dana publik digunakan untuk membeli aset afiliasi atau menambal modal grup tanpa pertimbangan menciptakan nilai tambah jangka panjang bagi investor.
Praktik seperti ini kerap dilegalkan secara administratif melalui pengungkapan di prospektus, tetapi menimbulkan pertanyaan lebih besar: sejauh mana pengawasan BEI, OJK, dan penjamin emisi dalam memastikan kualitas dan fairness IPO?
Bagaimanapun, investor ritel sering menjadi pihak paling rentan dalam skema seperti ini. Mereka berharap membeli saham perusahaan dengan prospek pertumbuhan solid, bukan membeli saham perusahaan yang hanya menyalurkan dananya ke kantong pihak-pihak terafiliasi.
Dalam IPO PMUI, penjamin emisi menyatakan “full commitment” artinya jika pasar tak menyerap semua saham, penjamin emisi wajib membeli sisanya.
Dengan hanya 25% saham yang terserap publik, beban itu jatuh ke penjamin emisi. Namun ini bukan berarti risiko selesai. Saham yang sudah jatuh ke tangan penjamin emisi pun kemudian dijual lagi ke pasar, yang rentan menambah tekanan jual dan menahan harga di level ARB.
Investor Ritel: Lagi-Lagi Jadi Korban?
Fenomena ARB pada hari pertama semakin mempertegas kekhawatiran investor ritel. Banyak yang menilai mekanisme penjaminan penuh hanya formalitas yang gagal menahan sentimen negatif pasar.
Lebih jauh, transparansi soal bagaimana dana IPO digunakan, apakah benar akan menambah nilai bagi perusahaan, atau justru hanya menguntungkan pemilik mayoritas, kembali dipertanyakan.