
“Bapak AI” Peringatkan Artificial Intelligence Bisa Mengendalikan Manusia di Masa Depan
- Hinton mengibaratkan AI saat ini seperti anak harimau yang lucu dan menggemaskan. Namun, di masa depan, anak harimau ini akan tumbuh besar dan bisa menjadi ancaman yang membahayakan, bahkan bagi orang yang merawatnya.
Tren Leisure
JAKARTA – Geoffrey Hinton yang dijuluki “bapak kecerdasan buatan atau Bapak AI” memperingatkan bahwa teknologi yang ia bantu kembangkan berpotensi menguasai manusia. Ia mengungkapkan kekhawatiannya terhadap teknologi yang ia kembangkan.
Dalam wawancaranya dengan program CBS Saturday Morning, Hinton menyatakan perkembangan AI terjadi jauh lebih cepat dari yang ia perkirakan, dengan kemajuan pesat agen-agen AI menjadi hal yang menurutnya sangat mengkhawatirkan.
Hinton, menyatakan ada kemungkinan AI bisa menjadi jauh lebih cerdas dan berpotensi mengambil alih manusia. Hal ini ia ungkapkan dalam sebuah wawancara dengan CBSNews. Dalam wawancara tersebut, pewawancara menanyakan seberapa besar kemungkinan terjadinya P (doom).
- Solo Menuju Daerah Istimewa Surakarta? Ini Pertimbangan Sejarah dan Politiknya
- Tak Hanya QRIS, AS Juga Protes Sistem Pembayaran Lokal di Banyak Negara
- Antrean Haji Bisa Sampai 47 Tahun, Mega Syariah Tawarkan Cicilan untuk Berangkat Lebih Cepat
P (doom) merujuk pada istilah dalam keselamatan AI yang menggambarkan kemungkinan terjadinya akibat bencana eksistensial akibat perkembangan kecerdasan buatan.
“Saya pikir, sebagian ahli di bidang ini akan sepakat, soal kemungkinan hal ini (kecerdasan buatan) menjadi jauh lebih pintar dari kita dan mengambil kendali dari kita. (Tapi) itu bisa saja terjadi, bisa saja tidak,” kata Hinton.
Ia juga memperkirakan bahwa kecerdasan buatan umum—sebuah sistem AI teoritis yang memiliki kemampuan kognitif layaknya manusia—bisa tercapai dalam waktu 10 tahun atau bahkan lebih cepat.
Hinton, salah satu pencipta teknologi jaringan saraf utama, sejak lama telah mengingatkan bahwa AI berpotensi menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia.
Pada tahun 2023, ia memutuskan mundur dari Google karena semakin khawatir terhadap risiko yang bisa ditimbulkan oleh kecerdasan buatan bagi manusia. Saat itu, ia menyatakan ingin menyuarakan kekhawatirannya secara terbuka tanpa terikat pada perusahaan teknologi besar.
Sebelumnya, ia juga telah memperingatkan bahwa sistem AI suatu saat nanti bisa melampaui kecerdasan manusia dan bertindak di luar kendali, yang pada akhirnya dapat membahayakan umat manusia itu sendiri.
Dalam wawancara yang tayang akhir pekan lalu, Hinton kembali menegaskan kekhawatiran tersebut.
“Jika kita mempertimbangkan kemungkinan bahwa AI akan menjadi jauh lebih cerdas dari manusia dan kemudian mengambil alih kendali, maka peluang hal itu terjadi sangat mungkin—lebih dari 1% namun kurang dari 99%. Hampir semua ahli sepakat mengenai hal ini,” ujarnya.
Hinton tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai maksud dari frasa mengambil alih manusia. Namun, hal ini bisa merujuk pada situasi di mana AI mengambil alih semua peran yang selama ini dijalankan oleh manusia, dengan skenario terburuk adalah AI yang melawan manusia dalam berbagai aspek.
“Kita bermain dengan AI yang kita sendiri belum pernah mengalami era atau kemajuan yang diciptakan oleh teknologi tersebut. Orang-orang belum paham hal ini dan tak mengerti ancaman apa yang akan hadir di masa depan dari pengembangan AI,” paparnya.
Hinton bukan satu-satunya sosok pionir AI yang angkat bicara soal teknologi yang turut ia kembangkan. Yoshua Bengio, rekan penerima Turing Award bersama Hinton pada tahun 2018, juga telah memperingatkan bahwa AI berpotensi melampaui kecerdasan manusia dan mungkin saja mengambil alih kendali di masa depan.
Bengio bahkan menyampaikan kekhawatiran yang lebih dalam terkait bahaya AI. Ia mengaku merasa bersalah karena turut menciptakan deep learning, yang kini berisiko disalahgunakan untuk hal-hal yang berbahaya.
Layaknya Bayi Harimau; Lucu Tapi Berbahaya
Meskipun Hinton percaya bahwa kecerdasan buatan akan mengubah pendidikan dan kedokteran serta berpotensi mengatasi perubahan iklim, ia semakin khawatir tentang perkembangan cepat teknologi ini, bahkan melebihi prediksi dan ekspektasinya sendiri.
Hinton kemudian mengibaratkan AI saat ini seperti anak harimau yang lucu dan menggemaskan. Namun, di masa depan, anak harimau ini akan tumbuh besar dan bisa menjadi ancaman yang membahayakan, bahkan bagi orang yang merawatnya.
“Di masa depan, ada kemungkinan besar AI akan lebih pintar dari kita. Saat ini saja, model bahasa macam GPT-4 sudah tahu lebih banyak informasi dari kita, sehingga jangan kaget apabila di masa depan AI seperti ini akan ahli dalam berbagai bidang,” kata dia.
Meski khawatir tentang perkembangan AI di masa depan, Hinton menyatakan manusia saat ini tidak perlu terlalu cemas. Pasalnya, ada kemungkinan besar AI tidak akan mengambil alih manusia di masa depan.
“Kalau angka maksimal AI mengambil alih manusia ini ada di kisaran 20%, maka ada kemungkinan yang cukup tinggi, yaitu hingga 80%, bahwa AI tidak akan mengontrol manusia, dan ini kemungkinannya jelas lebih besar,” ungkap Hinton.
Dampak AI Terhadap Dunia
Meskipun khawatir, Hinton menyatakan ada alasan untuk tetap optimis mengenai dampak AI terhadap dunia, dengan menyoroti sektor kesehatan, pengembangan obat, dan pendidikan sebagai bidang yang dapat merasakan manfaat besar dari AI.
Dilansir dari Fortune, AI telah menunjukkan kemampuan diagnostik setara manusia, meskipun masih kurang dalam beberapa aspek lainnya.
Dalam dunia pendidikan, kehadiran tutor AI bisa membantu mempersonalisasi pembelajaran bagi siswa dan meringankan beban kerja para pengajar. OpenAI sendiri telah bekerja sama dengan beberapa universitas terkemuka untuk memberikan akses kepada mahasiswa dan staf terhadap dana serta alat AI terdepan.
- Kompetisi Kredit di Segmen Korporasi Semakin Ketat, Simak Prospek Saham BBNI Berikut Ini
- Hilirisasi Serap Investasi hingga Rp136,3 Triliun
- IDCloudHost Luncurkan Dedicated Server Berkelas Enterprise untuk Dorong Ekosistem AI dan SaaS
Hinton mengatakan bahwa keberadaan tutor AI yang dipersonalisasi akan menjadi berita buruk bagi universitas, tetapi berita baik bagi masyarakat.
Ia juga mengubah pandangannya mengenai penggantian pekerjaan oleh AI, dengan menyatakan kekhawatirannya bahwa banyak orang mungkin kehilangan pekerjaan akibat teknologi ini dan memperingatkan bahwa hal tersebut bisa memperburuk kesenjangan kekayaan.