Ilustrasi Rumah Subsidi - Panji 1.jpg
Tren Ekbis

Bank Ketar-ketir, Gen Z Sulit KPR: Dampak Utang Luar Negeri BUMN Rp715 T

  • Kenaikan utang menekan kemampuan perbankan, khususnya bank-bank besar seperti Mandiri, BRI, dan BNI, untuk menyalurkan kredit baru, termasuk KPR. Persetujuan KPR untuk kelompok usia di bawah 30 tahun tercatat turun hingga 40% pada periode Mei hingga Juni 2025.

Tren Ekbis

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA – Besarnya total utang luar negeri sebesar Rp715 triliun oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Mei 2025 tidak hanya berdampak pada stabilitas fiskal, tetapi juga memberi tekanan besar terhadap sektor perbankan dan perumahan. 

Salah satu kelompok yang paling merasakan dampaknya adalah generasi muda, yang kini semakin sulit mengakses kredit pemilikan rumah (KPR) di tengah ketatnya likuiditas perbankan dan naiknya biaya kredit. Lonjakan utang luar negeri bank-bank milik negara menjadi beban signifikan. 

Berdasarkan data Bank Indonesia per April 2025, sektor perbankan mengalami peningkatan utang hingga 31,9% secara tahunan. Dari US$5,74 miliar pada April 2024 menjadi US$7,57 miliar, atau setara dengan kenaikan dari sekitar Rp93,4 triliun menjadi Rp123,0 triliun dengan asumsi kurs Rp16.250 per dolar AS.

Kenaikan ini menekan kemampuan perbankan, khususnya bank-bank besar seperti Mandiri, BRI, dan BNI, untuk menyalurkan kredit baru, termasuk KPR. Persetujuan KPR untuk kelompok usia di bawah 30 tahun tercatat turun hingga 40% pada periode Mei hingga Juni 2025. Bank memilih memprioritaskan kesehatan likuiditas.

Program Rumah Subsidi 

Program rumah subsidi yang saat ini tengah dirancang pemerintah untuk menyediakan hunian dengan cicilan terjangkau saat ini terhambat. Skema ini sangat bergantung pada pendanaan dari bank-bank Himbara, seperti BTN, yang kini mengalami kesulitan likuiditas. 

Akibatnya, pencairan kredit menjadi tersendat dan berpotensi membuat program ini mandek sebelum benar-benar berjalan. Sebagai solusi, muncul wacana pembangunan rumah mungil bergaya kos-kosan guna menekan biaya konstruksi dengan cicilan sekitar Rp600–700 ribu per bulan untuk unit seluas 18 meter persegi.

"Insya Allah kalau memang nanti ke depan kita sudah banyak masukan dari semua stakeholder dengan harga yang nanti lebih murah, ternyata itu cicilannya juga kita dorong bisa lebih murah bisa 600 sampai 700 ribu sebulan," jelas Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian, PKP Sri Haryati, dikutip Selasa, 17 Juni 2025.

Baca Juga: Beda Arah Ara dan Fahri Hamzah Soal Rumah Subsidi

Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan besar terkait kelayakan hunian tersebut, baik dari sisi kenyamanan, aksesibilitas, maupun standar hidup yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Apakah rumah sekecil itu bisa memenuhi kebutuhan dasar penghuninya dalam jangka panjang?

Di sisi lain, beban pengembang juga semakin berat seiring dengan naiknya suku bunga pinjaman konstruksi sebesar dua persen setelah pelunasan utang.  Kenaikan ini secara langsung meningkatkan biaya produksi perumahan, sehingga makin menjauhkan harapan untuk menurunkan harga jual rumah. 

Situasi ini diperburuk oleh pengetatan anggaran negara, yang membatasi ruang fiskal untuk menambah alokasi subsidi perumahan. Kombinasi antara tekanan likuiditas, beban pembiayaan yang meningkat, serta keterbatasan fiskal menjadikan masa depan program rumah subsidi penuh ketidakpastian.

Tanpa solusi terintegrasi yang melibatkan reformulasi kebijakan pembiayaan dan desain hunian yang lebih manusiawi, impian memiliki rumah layak dengan harga terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah bisa jadi hanya akan menjadi wacana belaka.