Ilustrasi Gen Z di tempat kerja.
Tren Leisure

Bahaya Kelelahan Mental karena Terlalu Aktif Bekerja, Industri Mana yang Paling Rentan

  • Beberapa negara sudah mengambil langkah serius. Prancis menerapkan right to disconnect sejak 2017, yang memberikan hak kepada pekerja untuk tidak membalas email atau pesan kerja di luar jam kantor.

Tren Leisure

Debrinata Rizky

JAKARTA – Kelelahan mental alias mental fatigue makin banyak dialami pekerja, terutama di kota besar dan sektor industri dengan ritme kerja tinggi.

Aktivitas kerja yang terlalu padat, ditambah budaya selalu aktif, membuat batas antara waktu kerja dan waktu pribadi makin kabur. Akibatnya, banyak pekerja muda yang rentan mengalami kelelahan psikis tanpa disadari.

Fenomena ini bukan lagi sekadar keluhan personal. Laporan dari International Labour Organization (ILO) menyebutkan bahwa kelelahan mental akibat kerja berlebihan telah menjadi penyebab menurunnya produktivitas, meningkatnya risiko penyakit kronis, hingga ancaman resign massal (quiet quitting).

Baca juga: Melihat Potensi Child Grooming, Eksploitasi dalam Industri K-pop

Berdasarkan riset yang dikompilasi dari data ILO, McKinsey, serta laporan tren tenaga kerja dari beberapa platform rekrutmen di Asia Tenggara, berikut industri yang paling rentan memicu stres dan kelelahan mental:

Teknologi dan Startup Digital

Budaya hustle dan jam kerja fleksibel justru membuat banyak pekerja tech bekerja di luar jam kantor normal. Deadline ketat, ekspektasi tinggi, dan cepatnya perubahan target membuat burnout jadi hal biasa.

Media dan Kreatif

Wartawan, kreator konten, tim agensi iklan, hingga desainer semua menghadapi tekanan konten yang terus-menerus, revisi tak henti, dan kerja lembur yang sudah jadi budaya.

Layanan Kesehatan dan Sosial

Terutama pascapandemi, tenaga medis menghadapi beban kerja besar dan tekanan emosional yang tinggi. Bidan, perawat, hingga psikolog juga sering alami stres berkepanjangan.

Customer Service dan Perbankan Digital

Tuntutan respons cepat, terutama di era digital dan live-chat 24 jam, membuat pegawai layanan pelanggan rentan stres. Apalagi jika mereka tak punya waktu pemulihan yang cukup.

Edukasi dan Edtech

Guru dan tutor daring kerap bekerja melebihi jam normal, termasuk menyiapkan materi atau menjawab pertanyaan murid di luar jam sekolah.

Perlukah Regulasi Jam Kerja Lebih Ketat?

Beberapa negara sudah mengambil langkah serius. Prancis menerapkan right to disconnect sejak 2017, yang memberikan hak kepada pekerja untuk tidak membalas email atau pesan kerja di luar jam kantor.

Jepang, negara dengan budaya kerja ekstrem, sudah membuat sistem pelaporan jam kerja lembur dan mewajibkan cuti minimum. Korea Selatan bahkan memblokir akses ke server kantor di luar jam kerja bagi beberapa pegawai negeri.

Sementara di Indonesia, regulasi jam kerja diatur dalam UU Ketenagakerjaan, namun implementasinya di sektor informal dan sektor digital sering kali tak jelas. Model kerja hybrid dan remote pasca-pandemi memperbesar tantangan ini.

Gen Z: Produktif, tapi Nggak Mau Jadi Mesin

Bagi generasi muda, bekerja giat adalah nilai penting. Tapi jadi produktif tak sama dengan mengorbankan kesehatan mental. Banyak dari mereka yang mulai mencari perusahaan dengan budaya kerja sehat, bukan cuma gaji tinggi.

“Yang dibutuhkan bukan cuma regulasi. Tapi juga perubahan budaya bahwa istirahat itu bagian dari produktivitas,” kata Dira 26 tahun pekerja yang beralih ke freelance demi ketenangan mental.

Wanita asal Jakarta ini mengaku saat ini menemukan ketenangan bekerja berkat menjadi freelance. Dan sebelumnya Dira tak mendapatkan itu selama menjadi budak korporat.

Dira menceritakan awalnya dia bekerja di salah satu gedung tinggi dikawasan SCBD, Jakarta dan kerap merasakan sesak,stress dan tak enjoy saat bekerja akibat banyaknya tekanan.

Setiap ia berangkat bekerja ia selalu dihatui rasa malas dan takut."Apa lagi tekanan dan arahan kantor yang akan kena ke saya ya?" Jelasnya. Setelah bergelut dengan kegalauan hatinya, Dira memutuskan untuk resign dan memilih freelance sebagai jalan keluar.