Pertamax Turun Harga - Panji 2.jpg
Tren Global

APBN Terancam Jebol Tertekan Harga Minyak, Apa Dampaknya Buat Kita?

  • Ketegangan Iran-Israel bikin harga minyak dunia melambung. Anak muda perlu tahu: apa dampaknya ke subsidi BBM, APBN, dan masa depan energi Indonesia?

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA – Ketegangan antara Iran dan Israel kembali panas, apalagi setelah Amerika Serikat dilaporkan menyerang fasilitas nuklir Iran. Situasi ini bikin banyak pihak khawatir akan pecahnya konflik besar-besaran, bahkan dianggap berpotensi memicu perang dunia ketiga.

Sebagai respons, parlemen Iran sempat melakukan voting untuk menutup Selat Hormuz, salah satu jalur laut paling krusial di dunia. Walau keputusan final masih di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, ancaman ini sudah cukup bikin pasar minyak global gonjang-ganjing.

Senin, 23 Juni 2025, harga minyak dunia langsung melonjak tajam. Brent, patokan harga internasional, naik 5,7% dan sempat tembus US$ 81 per barel (sekitar Rp1,32 juta), sebelum turun sedikit ke US$ 78,81 (Rp1,28 juta).

WTI, acuan harga dari Amerika Serikat, juga ikut naik jadi US$ 75,60 per barel (Rp1,23 juta). Lonjakan ini muncul karena kekhawatiran akan terganggunya pasokan minyak lewat Selat Hormuz, jalur yang mengalirkan sekitar 20% kebutuhan minyak dunia.

JP Morgan bahkan memprediksi, kalau Selat Hormuz benar-benar ditutup dalam waktu lama, harga minyak dunia bisa meroket hingga US$130 per barel (Rp2,11 juta). Kalau ini terjadi, efeknya bisa langsung menghantam keuangan negara-negara pengimpor minyak, termasuk Indonesia.

Subsidi Energi Terancam Meledak

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menganggarkan subsidi energi sebesar Rp113,7 triliun di APBN 2025. Rinciannya: Rp26,7 triliun buat subsidi BBM dan Rp87 triliun untuk LPG tabung 3 kg.

Subsidi ini ditargetkan untuk 19,41 juta kiloliter BBM dan 8,2 juta metrik ton LPG. Tapi, anggaran itu dihitung dengan asumsi harga minyak global masih berkisar antara US$ 74–100 per barel (Rp1,2–1,63 juta).

Kalau harga minyak beneran naik sampai US$ 130, alokasi anggaran bisa langsung jebol. Setiap kenaikan US$ 10 per barel bisa nambah beban negara hingga Rp6–10 triliun, tergantung jumlah konsumsi dan nilai tukar rupiah.

Indonesia belum bisa lepas dari ketergantungan impor minyak mentah. Tahun 2023, impor kita mencapai 132,39 juta barel, naik 15,6% dibanding 2022. Sementara sampai pertengahan 2024, kita udah impor 62,2 juta barel.

Artinya? Ketika harga minyak naik, beban negara makin berat karena semua transaksi impor dibayar dalam Dolar AS. Kalau rupiah melemah di saat yang sama, tekanan ke APBN makin parah.

Dalam APBN 2025, total alokasi subsidi energi (BBM, LPG, dan listrik) sebenarnya udah tembus Rp203,4 triliun. Tapi angka ini belum memasukkan risiko lonjakan harga minyak dunia.

Pemerintah memang sudah mulai digitalisasi distribusi BBM bersubsidi lewat sistem QR Code, dan pencatatan transaksinya sudah mencapai 93,9% buat Pertalite di 2024. Kuota BBM subsidi juga sempat diturunkan 0,9% dibanding tahun sebelumnya.

Tapi semua itu belum cukup kalau harga minyak global naik terus. Pemerintah butuh strategi yang lebih serius, bukan cuma tambal sulam.

Pemerintah sadar, ketergantungan terhadap BBM bersubsidi bukan solusi jangka panjang. Karena itu, transisi ke energi baru dan terbarukan (EBT) harus dikebut—mulai dari panel surya, bioenergi, sampai potensi energi nuklir.

Namun untuk jangka pendek, Indonesia masih harus berjibaku dengan fluktuasi harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah.

Kenaikan harga minyak akibat konflik Iran-Israel adalah wake-up call buat negara pengimpor seperti Indonesia. Kalau harga minyak tembus US$ 130 dan nilai tukar rupiah jeblok, subsidi energi bisa meledak dan APBN bisa keteteran.

Langkah-langkah mitigasi seperti efisiensi anggaran, digitalisasi distribusi subsidi, dan percepatan transisi energi harus terus dijalankan. Yang paling penting, pemerintah harus siap hadapi skenario terburuk. Karena dalam krisis energi global, yang lambat akan tumbang duluan.