
Apa yang Terjadi Jika Subsidi BBM dan Listrik Hilang Akibat Perang Dunia Ketiga?
- Pencabutan subsidi energi tak hanya berdampak langsung ke transportasi dan listrik, tetapi juga berantai ke seluruh sektor. Biaya distribusi naik harga beras, cabai, telur, dan daging melonjak. Produksi industri terganggu dari pabrik mie instan hingga pabrik pupuk.
Tren Ekbis
JAKARTA – Konflik bersenjata yang melibatkan Iran dan Israel sejak pertengahan Juni 2025 terus memicu kekhawatiran pasar energi global. Jika kondisi ini terus memburuk dan harga minyak melampaui asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 US$82 per barel, pemerintah terancam kehilangan kemampuan fiskal untuk mempertahankan subsidi energi.
Pasalnya per Mei 2025 pemerintah telah menggelontorkan APBN untuk subsidi sebesar Rp66,1 triliun. Di mana jika dirinci lebih lanjut untuk BBM telah terealisasi sebesar 5.807,9 KL atau naik 4,3% dibandingkan tahun lalu.
Sedangkan untuk LPG 3 kg telah terealisasi sebesar 2.782,2 juta kg atau tumbuh 3,5%. Sedangkan listrik bersubsidi dengan terealisasi kepada 42,1 juta pelanggan atau tumbuh 4,2%.
Sisanya subsidi disalurkan untuk kredit usaha rakyat (KUR) dan pupuk masing-masing Rp110,1 triliun rupiah dan 3,1 juta ton. Menurut Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, realisasi subsidi sampai dengan 31 Mei 2025 lebih rendah dibandingkan 2024 karena adanya perubahan KPA untuk subsidi KUR dan perubahan harga ICP.
Dengan porsi yang sudah besar di tubuh APBN, apa jadinya jika subsidi BBM dan listrik dicabut karena pemerintah tak lagi bisa menanggung? Mari kita hitung nilai riil BBM dan listrik tanpa subsidi.
Simulasi Dampak ke BBM
Saat ini, harga BBM subsidi yakni Pertalite masih dijual di kisaran Rp10.000 per liter, jauh di bawah harga keekonomian berdasarkan data Kementerian Keuangan Rp11.700 per liternya. Sisa Rp1,700 per liter ditanggung melalui APBN.
Jadi jika subsidi Pertalite dicabut dan harga disesuaikan ke pasar harga Pertalite naik dari Rp10.000 → Rp11.700 per liternya.
Lalu untuk solar subsidi masyarakat seharusnya membayar sebesar Rp11.950 per liter. Namun saat ini harga jual eceran di angka Rp6.800 per liter, adapun sisa Rp5.150 per liter ditanggung oleh APBN.
Dampak ke Listrik: Tagihan Rumah Tangga Bisa Naik
Subsidi listrik per Mei 2025 telah terealisasi kepada 42,1 juta pelanggan atau tumbuh 4,2%. Jika dilihat dari data yang sama, pemerintah pemerintah menanggung Rp1.200 per KWH melalui APBN untuk listrik rumah tangga 900 VA. Sehingga harga yang seharusnya dibayarkan masyarakat untuk dapat menikmati listrik diangka Rp1.800 per KWH.
Pencabutan subsidi energi tak hanya berdampak langsung ke transportasi dan listrik, tetapi juga berantai ke seluruh sektor. Biaya distribusi naik harga beras, cabai, telur, dan daging melonjak. Produksi industri terganggu dari pabrik mie instan hingga pabrik pupuk.
Siapa yang Paling Terdampak?
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar mengungkapkan disetujuinya penutupan Selat Hormuz oleh Legislator Iran bakal berdampak negatif terhadap sektor logistik global, termasuk pengiriman minyak mentah.
Dirinya meyakini penutupan Selat Hormuz oleh Pemerintah Iran akan langsung memberi dampak ke Indonesia. Pasalnya, harga minyak mentah dunia bakal terkerek naik jika Iran mengeksekusi penutupan Selat Hormuz.
Bisman pun tak menampik ada peluang naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, baik BBM PSO (subsidi) maupun BBM non-subsidi sebagai buntut dari panasnya tensi Iran dan Israel yang berimbas pada penutupan Selat Hormuz.
Pekerja informal dan buruh harian yang tanpa jaminan upah tetap, kelompok ini paling rentan, disusul kelas menengah rentan, di mana mereka terjepit antara pengeluaran naik dan pendapatan stagnan. UMKM berbasis rumah tangga, biaya listrik dan transport bisa membunuh usaha kecil.
Simulasi ini menunjukkan bahwa pencabutan subsidi energi bukan opsi tanpa risiko sosial. Dampaknya luas, dari tagihan listrik hingga harga nasi di warteg. Jika perang Iran-Israel terus bereskalasi dan Selat Hormuz tak stabil, maka tekanan pada APBN akan makin besar, dan keputusan sulit menanti pemerintah.
"Untuk sementara belum akan naik sehingga beban subsidi semakin besar dan akan ditanggung oleh APBN yang juga sedang tidak baik kondisinya. Namun jika kenaikan (harga minyak) terus terjadi, saya kira tidak ada pilihan bagi Pemerintah selain juga menaikkan harga BBM PSO," tuturnya.