NoOtherLand_Banner-1280x720.jpg
Tren Leisure

Apa Isi No Other Land? Film yang Konsultannya Ditembak Mati Pemukim Israel

  • Aktivis Palestina Odeh Hathalin, yang turut menjadi konsultan dalam film dokumenter peraih Oscar No Other Land, meninggal dunia pada Senin, 28 Juli 2025, setelah ditembak oleh seorang pemukim Israel di wilayah Tepi Barat.

Tren Leisure

Distika Safara Setianda

JAKARTA, TRENASIA.ID – Aktivis Palestina Odeh Hathalin, yang turut menjadi konsultan dalam film dokumenter peraih Oscar No Other Land, meninggal dunia pada Senin, 28 Juli 2025, setelah ditembak oleh seorang pemukim Israel di wilayah Tepi Barat.

Berita mengenai penembakan Hathalin pertama kali disampaikan oleh jurnalis Israel sekaligus sutradara No Other Land, Yuval Abraham. Ia mengungkapkan Hathalin terkena tembakan di bagian tubuh atas dan berada dalam kondisi kritis. Kementerian Kesehatan Palestina kemudian mengonfirmasi Hathalin meninggal akibat luka-luka tersebut.

Polisi Israel menyatakan pasukannya tiba di lokasi kejadian dan menahan seorang warga sipil Israel, yang kemudian ditangkap untuk diperiksa lebih lanjut. Identitas pria yang ditangkap tidak diungkapkan oleh pihak kepolisian.

Dilansir dari Variety, militer Israel mengklaim teroris melemparkan batu ke arah warga sipil Israel di dekat Carmel, sebuah permukiman Israel yang berada tak jauh dari Umm al-Khair.

Hathalin diduga ditembak oleh Yinon Levi, seorang ekstremis yang sebelumnya telah dijatuhi sanksi oleh pemerintahan Biden, Inggris, dan Kanada, menurut laporan media Israel. Basel Adra, jurnalis Palestina sekaligus rekan sutradara No Other Land, turut membagikan kesaksiannya tentang “sahabat dekatnya” itu.

“Dia berdiri menghadang pemukim yang mengancam komunitasnya ketika seorang pemukim menembakkan peluru menembus dadanya, merenggut nyawanya. Beginilah Israel menghapus kami, satu nyawa demi satu,” tulis Adra di Instagram.

Scene di Film No Other Land.

Pembunuhan Hathalin dilaporkan terjadi di sebuah desa dekat Hebron. Kekerasan bersenjata oleh pemukim dan pasukan Israel di Tepi Barat melonjak semenjak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023.

Sejak saat itu, setidaknya 964 warga Palestina tewas di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, menurut data Perserikatan Bangsa‑Bangsa.

Sebagai aktivis terkemuka yang kerap mendampingi jurnalis dan pegiat di Tepi Barat serta ikut dalam proses pembuatan No Other Land, Hathalin bulan lalu berkunjung ke California untuk menghadiri acara lintas iman di sebuah sinagoga.

Namun, setibanya di Bandara Internasional San Francisco, ia ditahan dan segera dideportasi setelah petugas imigrasi membatalkan visanya, demikian sejumlah laporan.

Film No Other Land Bercerita Tentang Apa?

No Other Land, sebuah film yang berani dan menggugah, menjadi dokumenter paling banyak meraih penghargaan di tahun 2024.

Film ini memenangkan puluhan penghargaan dari kritikus, juri, hingga penonton di berbagai belahan dunia, ditayangkan di hampir semua festival film internasional besar, dan berhasil meraih penghargaan Oscar.

Film ini menyoroti aksi pembongkaran rumah-rumah warga oleh militer Israel di desa tersebut, yang wilayahnya ingin dijadikan zona latihan militer. Dalam cuplikannya, tampak tentara Israel meratakan sekolah dan mengisi sumur-sumur air dengan semen agar warga tidak bisa membangun kembali.

Dilansir dari The New York Times, mengangkat isu konflik Israel-Palestina yang sangat relevan, pendekatannya terasa luar biasa berani dengan tim sutradara yang terdiri dari dua orang Israel dan dua orang Palestina.

Namun pada akhirnya, No Other Land menyajikan kisah yang lebih luas dari sekadar konflik. Film ini memiliki dua sisi utama. Pertama, cerita yang ditampilkan tentang kehilangan, kekuasaan, kesedihan, dan penderitaan.

Para sutradara Palestina, Basel Adra dan Hamdan Ballal, adalah aktivis sekaligus jurnalis yang tinggal di atau dekat wilayah Masafer Yatta di Tepi Barat yang diduduki. Selama bertahun-tahun, mereka menjadi saksi pembongkaran rumah-rumah warga oleh pasukan Israel yang mengklaim bahwa wilayah tersebut dibutuhkan sebagai zona latihan militer dengan peluru tajam.

Para pembuat film menjelaskan bahwa mereka mulai merekam untuk mendokumentasikan secara visual apa yang terjadi di lapangan, termasuk bagaimana banyak keluarga terpaksa tinggal di dalam gua-gua bawah tanah dengan membawa barang-barang yang masih bisa diselamatkan.

Judul No Other Land diambil dari teriakan seorang perempuan yang mempertanyakan ke mana mereka harus pergi, karena rumah-rumah yang dihancurkan itu telah dihuni oleh keluarganya selama beberapa generasi, dan mereka benar-benar tidak memiliki tanah lain.

Film ini merekam kehancuran tersebut antara tahun 2019 hingga 2023, serta menampilkan cuplikan arsip dari keluarga Adra. No Other Land juga menggambarkan persahabatan yang tumbuh, meski kadang menegangkan, antara Adra dan jurnalis Israel Yuval Abraham, yang datang ke Masafer Yatta bersama sinematografer Rachel Szor untuk meliput kejadian di awal periode tersebut.

Apa yang mereka saksikan selama masa itu sangat memilukan, terutama karena peristiwa tersebut terus berulang.

Di tengah penggusuran demi penggusuran yang tak kunjung henti, ketegangan mulai muncul dalam hubungan antara Adra dan Abraham, salah satunya karena Abraham bebas bepergian ke mana saja, sementara Adra tidak. Ketimpangan ini secara perlahan membentuk potret jelas tentang frustrasi yang dirasakan oleh keduanya.

Lalu ada pula kisah di balik No Other Land itu sendiri. Dalam kondisi normal, dokumenter seperti ini biasanya akan segera menarik perhatian distributor setelah sukses di festival, apalagi mengingat film ini memenangkan penghargaan dokumenter terbaik sekaligus penghargaan pilihan penonton di Berlinale 2024, sebuah indikasi minat publik yang besar.

Namun, seperti beberapa dokumenter lain yang juga mengangkat isu sensitif dan politis (seperti Union dan The Last Republican), No Other Land justru kesulitan mendapatkan distributor di Amerika Serikat, hingga akhirnya para produser memutuskan untuk merilisnya secara independen.

Padahal, sebelumnya film seperti ini cenderung mudah mendapatkan tempat di platform besar seperti Max atau Netflix.

Perubahan ini memunculkan berbagai pertanyaan tentang masa depan dokumenter yang tidak berfokus pada kisah biografi musisi atau cerita kriminal nyata, dua genre yang tampaknya paling disukai distributor saat ini.

Fenomena ini juga bisa mencerminkan anggapan perusahaan besar tentang apa yang diinginkan penonton, dan sebagaimana terlihat dalam budaya pop yang dipenuhi sekuel dan daur ulang, persepsi ini sering kali berubah menjadi ramalan yang menggenapi dirinya sendiri.

Meski begitu, kisah No Other Land bisa menjadi pertanda bahwa masih ada ruang bagi distributor yang berorientasi pada misi dan kesadaran sosial dalam pasar dokumenter.

Mungkin memang tidak ada keuntungan besar dalam menayangkan film-film yang menghadirkan realitas pahit atau menantang penonton untuk peduli, alih-alih menyajikan berita lama dalam kemasan hiburan.

Tapi itu bukan berarti tidak ada yang menginginkannya, dan bukan berarti upaya seperti ini tidak layak untuk dijalankan.