
Ancaman Tarif Trump: Saham Tekstil dan Nikel Ini Paling Berisiko, Apa Solusinya?
- Awas ada saham yang bisa boncos parah gara-gara tarif Trump! Analis spill daftar emiten tekstil dan nikel yang paling rawan. Amankan portofoliomu!
Tren Pasar
JAKARTA – Ancaman tarif dagang 32% dari Presiden AS Donald Trump bukan lagi sekadar isu makroekonomi. Kebijakan ini berpotensi menghantam langsung kinerja sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia, terutama yang pasarnya sangat bergantung pada Amerika Serikat.
Analis dari Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, baru saja merilis laporan mendalam yang membedah emiten mana saja yang paling 'panas-dingin' mendengar berita ini. Laporan yang dirilis pada Selasa, 8 Juli 2025, ini menjadi panduan penting bagi investor.
Laporan ini tidak hanya menunjuk siapa yang berisiko, tetapi juga menawarkan solusi strategis yang bisa ditempuh. Jadi, saham apa saja yang masuk 'daftar merah' dan apa jalan keluarnya? Mari kita bedah lima poin pentingnya.
- Penyaluran BSU Lambat karena Pendataan Bertele-tele
- Sukses dengan Jualan ‘Alas’ Foto, Anak Muda Ini Buktikan Inovasi Tidak Harus Rumit
- Kritis, Stok Rudal Patriot AS Tinggal 25 Persen dari Kebutuhan
1. Nasib Emiten Tekstil & Garmen
Sektor yang dinilai paling rentan dan akan merasakan dampak langsung adalah tekstil dan garmen. Dua emiten yang secara spesifik disorot oleh Liza adalah PT Trisula Textile Industries Tbk (BELL) dan PT Eratex Djaja Tbk (ERTX).
Alasannya sangat jelas: porsi ekspor kedua perusahaan ini ke pasar Amerika Serikat mencapai 20% hingga 30% dari total penjualan mereka. Ketergantungan yang tinggi ini membuat mereka sangat terekspos terhadap kebijakan tarif baru.
Liza memproyeksikan dampak yang sangat serius jika tarif ini berlaku, karena akan membuat produk Indonesia kalah bersaing dengan negara lain seperti Vietnam atau Bangladesh. Menurutnya, ini bisa menggerus laba bersih tahunan hingga 10-15% dan “mengakibatkan potensi koreksi ekspor 15-25%,” tulisnya.
2. Dampak Tak Langsung: Sektor Nikel Ikut Ketar-ketir
Selain tekstil, sektor nikel juga berpotensi 'kena getahnya', meskipun secara tidak langsung. Emiten seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) masuk dalam radar.
Risikonya bersifat geopolitik, karena AS saat ini sedang gencar mengamankan pasokan mineral kritis untuk rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV). Kebijakan tarif tinggi ini bisa menjadi pemicu bagi AS untuk mencari pasokan dari negara lain.
Liza menjelaskan bahwa eksposur risikonya tidak langsung, namun tetap signifikan karena posisi strategis nikel Indonesia. "Tarif tinggi bisa memicu reorientasi supply chain AS ke negara non-BRICS," jelasnya.
3. Bukan Cuma Pasrah, Ini Jurus Bertahan Sektor Nikel
Namun, analis tidak hanya memberikan peringatan, tetapi juga menawarkan solusi strategis yang bisa ditempuh oleh para produsen nikel sebelum tarif diberlakukan pada 1 Agustus mendatang.
Jurus pertama adalah dengan proaktif menawarkan kontrak pembelian jangka panjang (offtake agreement) kepada perusahaan-perusahaan besar di AS. Ini akan memberikan kepastian pasokan bagi AS dan kepastian penjualan bagi Indonesia.
Jurus kedua adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat pengolahan atau base processing hub dengan memberikan berbagai insentif, seperti program hilirisasi yang lebih menarik dan keringanan pajak (tax holiday) bagi investor AS yang mau membangun pabrik di sini.
4. Lobi Tingkat Dewa: Jadikan Nikel Kartu AS Diplomasi
Solusi paling pamungkas yang disarankan adalah menggunakan nikel sebagai 'kartu AS' dalam negosiasi dagang tingkat tinggi yang saat ini sedang berlangsung di Washington D.C.
Pemerintah Indonesia bisa menawarkan jaminan stabilitas pasokan nikel sebagai mineral strategis yang sangat dibutuhkan oleh industri AS. Sebagai gantinya, Indonesia bisa meminta kelonggaran atau bahkan pengecualian dari tarif 32% tersebut.
Liza menyimpulkan gagasan ini sebagai langkah diplomasi yang paling strategis. "Solusinya, jalin strategic alliancedengan mitra AS (Tesla, Ford) untuk pasokan jangka panjang dan dorong diplomasi nikel sebagai mineral strategis dalam trade deal," pungkasnya.
5. Jadi, Apa Artinya Ini Buat Investor?
Analisis ini memberikan panduan yang sangat jelas bagi para investor. Pertama, investor yang memiliki saham di sektor tekstil dengan eksposur ekspor tinggi ke AS, seperti BELL dan ERTX, perlu ekstra waspada dan mencermati perkembangan negosiasi dagang.
Kedua, untuk saham-saham di sektor nikel, kuncinya adalah memantau aksi korporasi perusahaan. Jika ada berita mengenai penandatanganan kontrak jangka panjang atau aliansi strategis dengan perusahaan AS, ini bisa menjadi katalis positif yang meredam sentimen negatif dari ancaman tarif.
Secara keseluruhan, di tengah ketidakpastian ini, saham-saham yang tidak memiliki ketergantungan besar pada pasar ekspor AS mungkin akan menjadi pilihan yang lebih aman bagi investor hingga ada kejelasan dari hasil diplomasi.