
Anak Muda Ogah Nikah, Jepang Terancam Kehilangan 40% Populasinya
- Jepang menghadapi krisis demografi akut dengan angka kelahiran terendah dalam sejarah modern dan populasi muda yang terus menyusut. Faktor ekonomi, budaya kerja yang keras, serta perubahan nilai sosial membuat generasi muda enggan menikah dan berkeluarga.
Tren Global
TOKYO - Jepang tengah berada di ambang krisis demografi yang semakin sulit dikendalikan. Populasi anak muda di negara tersebut mengalami penurunan drastis, dipicu oleh penurunan angka kelahiran, keterlambatan pernikahan, dan perubahan nilai sosial yang signifikan.
Tren ini diperparah oleh tekanan ekonomi, budaya kerja yang kaku, serta kebijakan pemerintah yang belum menyentuh akar permasalahan. Jika tidak segera ditangani secara struktural, Jepang diperkirakan akan kehilangan hampir 40% populasinya pada akhir abad ini, dengan implikasi serius terhadap ekonomi dan stabilitas sosial.
"Krisis angka kelahiran yang menurun dengan cepat masih belum terselesaikan," ungkap juru bicara Kementerian Kesehatan Jepang, dikutip Japan Times, Senin, 14 Juli 2025.
Pada tahun 2025, Jepang mencatat angka kelahiran hanya sebanyak 686.000 bayi, menjadi angka terendah sejak pencatatan dimulai pada 1947. Tingkat fertilitas anjlok ke level 1,15 jauh di bawah ambang pengganti generasi sebesar 2,1 anak per perempuan.
Populasi anak berusia di bawah 14 tahun pun menyusut menjadi 13,66 juta jiwa atau 11,1% dari total populasi. Secara keseluruhan, populasi warga lokal Jepang menurun sebanyak 898.000 jiwa hanya dalam satu tahun terakhir, menjadikannya penurunan tahunan terbesar sejak era modern. Bahkan jumlah bayi usia 0–2 tahun kini hanya sekitar 2,22 juta orang, mengindikasikan minimnya regenerasi populasi.
Biaya Hidup dan Budaya Kerja Hambat Keputusan Berkeluarga
Banyak anak muda Jepang enggan menikah atau memiliki anak karena tekanan ekonomi yang berat. Lebih dari 70% generasi muda menyatakan khawatir terhadap biaya hidup yang tinggi, stagnasi upah, dan ketidakpastian kerja.
Di kota besar seperti Tokyo, biaya pengasuhan anak termasuk yang tertinggi di dunia. Selain itu, budaya kerja Jepang yang terkenal keras turut memperburuk situasi. Jam kerja yang bisa mencapai lebih dari 80 jam per minggu membuat banyak pekerja, terutama perempuan, sulit menyeimbangkan karier dan kehidupan keluarga.
Banyak wanita memilih untuk tidak kembali bekerja pasca-melahirkan, sementara pria pun merasa tertekan menjadi satu-satunya pencari nafkah. Meski pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar 3,5 triliun yen per tahun untuk subsidi anak dan keluarga, banyak analis menilai langkah tersebut belum menyentuh akar masalah seperti reformasi sistem kerja dan kesenjangan ekonomi gender.
Nilai Sosial Bergeser: Karier dan Kebebasan Jadi Prioritas
Pergeseran nilai sosial turut memperparah krisis ini. Survei Kantor Kabinet Jepang tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 25,4% perempuan dan 26,5% pria usia 30-an tidak memiliki keinginan untuk menikah.
Di kelompok usia 20-an, sebanyak 19% pria dan 14% perempuan juga menyatakan tidak berencana menikah. Generasi muda Jepang kini lebih menempatkan kebebasan pribadi, pengembangan karier, dan hobi sebagai prioritas hidup.
Di daerah Saitama, misalnya, sejumlah warga mengaku merasa lebih bahagia dengan hidup melajang karena mereka bebas menonton film, bermain gim, dan menjalani kehidupan tanpa kompromi.
"Saya bisa melakukan hal-hal yang saya inginkan, kapan pun saya mau, dan saya tidak perlu memikirkan orang lain. Saya bisa begadang bermain gim komputer atau menonton film apa pun di bioskop yang saya inginkan atau saya bisa bertemu teman-teman saya. Saya suka itu," uajr salah satu warga Saitama, Sho, dikutip laman DW News, 14 Juli 2025.
Selain itu, usia pernikahan pertama juga semakin mundur, rata-rata pria menikah pada usia 31,7 tahun dan perempuan pada usia 30,2 tahun, sehingga mempersempit jendela fertilitas alami.
Konsekuensi dari penurunan populasi ini sudah mulai terasa di berbagai sektor. Jepang diprediksi akan mengalami kekurangan sekitar 6,3 juta tenaga kerja pada 2030, terutama di sektor manufaktur dan jasa.
Hal ini menyebabkan perusahaan kesulitan merekrut karyawan, terutama di luar wilayah metropolitan. Rasio antara pekerja dan lansia juga makin timpang, hanya ada 2,2 pekerja yang menopang satu orang lansia, menciptakan tekanan besar terhadap sistem pensiun dan layanan kesehatan.
Biaya jaminan sosial kini mencapai 38,3 triliun yen per tahun atau sekitar 35% dari total anggaran nasional. Ketimpangan populasi juga semakin tajam secara geografis.
Hanya Tokyo dan Saitama yang mencatat pertumbuhan penduduk, sementara prefektur seperti Akita di bagian utara Jepang mengalami penuaan ekstrem, hanya 8,8% penduduknya berusia di bawah 14 tahun, jauh di bawah Okinawa yang masih mencapai 15,8%.