Ilustrasi scan qr code, qris, bank digital
Tren Ekbis

Anak Muda Gandrung Bank Digital, Tapi yang Konvensional Tetap Diandalkan

  • Kantor cabang megah, antrean teller, dan formulir setebal map sudah bukan bagian dari pengalaman finansial anak muda masa kini.

Tren Ekbis

Debrinata Rizky

JAKARTA – Kantor cabang megah, antrean teller, dan formulir setebal map sudah bukan bagian dari pengalaman finansial anak muda masa kini. Dalam lima tahun terakhir, bank digital menjelma jadi dompet utama Gen Z dan milenial urban. 

Namun, apakah ini benar-benar sinyal kematian bagi bank fisik? Atau sekadar fase adaptasi menuju layanan yang lebih hibrida? Nurul (27) adalah pekerja di bidang konten kreatif yang mengelola seluruh aktivitas finansialnya lewat dua aplikasi: Bank Jago dan Blu BCA.

Sudah lebih dari lima tahun dia tidak menginjakkan kaki di kantor cabang bank. Bank digital dianggap lebih cepat, transparan, dan minim biaya. “Semua urusan beres di aplikasi. Transfer, bayar cicilan, nabung, bahkan investasi. Enggak ada alasan buat ke bank fisik,” ujarnya kepada TrenAsia.id pada Jumat, 25 Juli 2025.

Menurut survei Populix 2025, lebih dari 60% pengguna aktif bank digital berasal dari kelompok usia 18–35 tahun. Alasan dominannya: kenyamanan, fitur otomatis, dan suku bunga tabungan yang lebih kompetitif.

Belum Sepenuhnya Tergantikan

Deni (30), yang bekerja sebagai karyawan di bidang keuangan mengaku menggunakan tiga aplikasi bank digital. Meski begitu, ia tetap mempertahankan satu akun di bank konvensional. 

Menurutnya, ada sejumlah layanan penting yang belum bisa digantikan sepenuhnya oleh layanan digital. “Masih ada limitasi, apalagi kalau menyangkut urusan seperti pembukaan rekening bisnis, transaksi dalam jumlah besar, atau ketika sistem digital sedang error. Kita tetap butuh backup,” katanya.

Ia pernah mengalami gangguan saat saldo hilang mendadak dari akun bank digital dan proses pengaduannya memakan waktu hampir seminggu. Di saat itulah, ia merasa kehadiran kantor fisik tetap penting untuk jaminan rasa aman.

Baca Juga: Mitos Generasi Boros: Milenial dan Gen-Z Ternyata Rajin Nabung

Cerita lain datang dari Berliana (27), pemilik usaha fesyen lokal di Jawa Timur. Dia justru merasa kehadiran kantor cabang bank sangat membantu saat awal membangun bisnis. “Waktu mau ambil pinjaman modal kerja, saya butuh konsultasi langsung. Rasanya beda kalau ketemu orang daripada cuma via chatbot,” ungkapnya.

Ia tidak menolak bank digital, tapi lebih memilih kombinasi aplikasi untuk transaksi harian dan kantor cabang untuk urusan serius. Menurutnya bank fisik tidak benar-benar akan punah, tapi perannya pasti menyusut. 

Generasinya mendorong perubahan yang tidak bisa dibendung baik dari akses finansial harus cepat, personal, dan bisa dikontrol dari layar smartphone. Tapi selama masih ada kebutuhan untuk transparansi hukum, layanan keuangan kompleks, atau rasa aman saat krisis digital, kantor fisik tetap punya tempat meskipun lebih kecil, lebih ramping, dan lebih manusiawi.

Pada akhirnya, ini bukan soal gedung atau aplikasi. Tapi soal siapa yang paling memahami cara anak muda mengelola uang hari ini.