
Anak Muda dan Medan Tempur Siber dalam Konflik Iran-Israel
- Di platform seperti Instagram, Telegram, dan X, para anak muda Iran dan Israel tidak sekadar menjadi konsumen konten. Mereka mengorganisasi, mengawasi, melawan, menyaring, dan bahkan kadang menjalin komunikasi melintasi batas yang paling ketat di Timur Tengah modern.
Tren Global
JAKARTA – Di platform seperti Instagram, Telegram, dan X, para anak muda Iran dan Israel tidak sekadar menjadi konsumen konten. Mereka mengorganisasi, mengawasi, melawan, menyaring, dan bahkan kadang menjalin komunikasi melintasi batas yang paling ketat di Timur Tengah modern.
Lantas, apakah media sosial bisa menjadi jembatan antara dua musuh sejarah, atau justru menjadi medan baru dalam perang digital yang berkepanjangan?
Perlu memahami dulu siapa para penggunanya. Itu berarti dimulai dari dunia anak muda Iran yang kompleks dan sering disalahpahami. Kita sering mendengar pernyataan yang terlalu menyederhanakan, seperti “rakyat Iran” atau “anak muda yang bangkit,” seolah mereka adalah satu kekuatan politik yang seragam.
- Tensi AS dan Iran Kerek Saham Migas, Peluang Cuan atau Hanya Euforia?
- Beli Obligasi Pemerintah Kini Bisa Lewat Aplikasi DANA, Permudah Milenial dan Gen Z Investasi
- Transformasi Dividen ANTM: Dari Absen Bayar Kini 100 Persen Laba untuk Investor
Anak muda Iran seperti anak muda di mana pun, bukan kelompok yang homogen. Mereka terpecah oleh kelas sosial, gender, agama, lokasi geografis, ideologi, serta tingkat akses mereka terhadap dunia luar di luar batas negara Iran. Mereka hidup dalam masyarakat yang dibentuk oleh kontradiksi internal yang sangat mendalam.
Dalam beberapa dekade terakhir, Iran mengalami salah satu penurunan angka kelahiran paling tajam di dunia. Saat ini, tingkat kelahiran hanya 1,6 anak per perempuan, angka yang berada di bawah tingkat penggantian populasi.
Populasi Iran memang menua, namun belum bisa dikategorikan sebagai masyarakat lanjut usia. Kelompok usia terbesar saat ini berada pada rentang 35 hingga 44 tahun, yang berarti banyak orang dewasa muda yang kini aktif secara politik adalah anak-anak pada era 1990-an hingga awal 2000-an.
Mereka tumbuh dalam situasi yang ditandai oleh sanksi internasional, sensor ketat, ketidakstabilan ekonomi, dan berbagai gerakan protes. Beberapa di antaranya yang paling menonjol dalam 20 tahun terakhir termasuk Gerakan Hijau tahun 2009, protes harga bahan bakar tahun 2019, dan pemberontakan Mahsa Amini tahun 2022.
Meski negara memiliki kendali ketat, generasi muda Iran termasuk yang paling terdidik dan paling melek digital di kawasan. Iran memiliki sistem pendidikan tinggi yang kuat, budaya teknologi yang dinamis, dan penggunaan smartphone yang meluas. Aplikasi seperti Instagram, Telegram, dan WhatsApp tetap sangat populer meskipun sering disaring atau diblokir.
Namun, menjadi muda di Iran tidak selalu berarti berpikiran liberal, pro-Barat, atau menentang rezim. Ada yang mendukung reformasi demokratis, ada pula yang menyerukan keadilan Islam. Sebagian besar merasa kecewa, sementara lainnya justru sangat ideologis, dan hal ini berlaku di seluruh spektrum pandangan politik.
Kehidupan anak muda Iran dibentuk oleh tekanan nyata seperti pengangguran, inflasi, pembatasan berbasis gender, wajib militer, dan pengawasan negara. Namun mereka juga digerakkan oleh aspirasi yang tulus: mengejar pendidikan, meraih martabat, membangun koneksi, dan mencari kebahagiaan.
Memahami kompleksitas kehidupan anak muda Iran sangat penting, karena ketika membahas perilaku digital, siapa yang membagikan meme, bergabung dalam grup Telegram, atau mengunggah foto tanpa hijab, kita harus mengingat bahwa semua itu bukan sekadar tindakan spontan.
Dilansir dari international.ucla.edu, tindakan-tindakan tersebut muncul dari konteks historis, kebanggaan pribadi, tekanan sosial, dan ambiguitas politik yang menyertainya.
Sementara, generasi muda Israel dibentuk kontradiksi dan intensitas. Israel adalah negara kecil dengan ruang publik yang sangat aktif dan saling terhubung, namun diwarnai perpecahan yang mendalam, baik secara etnis, agama, ideologi, maupun yang semakin mencolok: perbedaan antar generasi.
Lebih dari 40% penduduk Israel berusia di bawah 25 tahun. Anak muda ini tumbuh dengan akses ke internet global, pendidikan berkualitas, dan sektor teknologi yang berkembang pesat. Namun mereka hidup di tengah masyarakat yang sangat militeristik, terpolarisasi secara politik, dan kerap dilanda krisis.
Seorang remaja sekuler di Tel Aviv mungkin hidup dalam realitas politik yang sepenuhnya berbeda dibandingkan seorang pemukim di Tepi Barat, mahasiswa ultra-konservatif di Bnei Brak, atau warga Arab di Umm al-Fahm.
Meski begitu, mereka semua mengakses platform yang sama yaitu, TikTok, Instagram, Telegram, dan YouTube. Tidak seperti rekan-rekan mereka di Iran, anak muda Israel memiliki akses ke internet terbuka dan perlindungan hukum atas kebebasan berpendapat.
Namun, kebebasan itu tidak serta merta melindungi mereka dari reaksi negatif. Ekspresi mereka tetap bisa dibatasi oleh tekanan sosial, serangan daring (digital mob), dan ruang gema ideologis (echo chamber) yang memperkuat pandangan tertentu.
Sejak serangan 7 Oktober, perpecahan di kalangan masyarakat Israel semakin tajam. Sebagian anak muda Israel menjadi lebih nasionalis, sementara yang lain semakin vokal mengkritik keadaan. Banyak di antara mereka yang merasa lelah secara emosional.
Anak muda di Israel tidak semuanya terlibat dalam politik dengan cara yang sama. Ada yang menentang pendudukan, ada yang menolak wajib militer, ada yang bergabung dengan militer, masuk ke dunia teknologi, atau mendirikan gerakan pemukim. Tak sedikit pula yang memilih untuk tidak terlibat sama sekali.
Tapi, satu hal yang menyatukan mereka adalah kenyataan bahwa mereka hidup secara terbuka dan digital, terus-menerus menegosiasikan identitas, risiko, dan rasa memiliki di platform yang sama, tempat di mana meme, trauma, dan ideologi saling berinteraksi.
Ketika seorang anak muda Israel mengikuti anak muda Iran di Instagram atau sebaliknya, tindakan itu memiliki makna tersendiri. Itu bukan sekadar rasa ingin tahu digital, melainkan sebuah langkah menembus batas ketakutan yang diwariskan.
Makna dari tindakan tersebut sering kali disalahpahami. Terutama di dunia Barat, ada kecenderungan untuk melihat semua bentuk perlawanan dari rakyat Iran sebagai seruan untuk demokrasi liberal.
Padahal, keinginan untuk perubahan tidak selalu berarti keinginan menjadi seperti Barat. Banyak anak muda Iran yang mengkritik rezim bukan dari sudut pandang liberal, melainkan melalui kacamata agama, nasionalisme, atau semangat revolusioner.
Ada yang menolak pemisahan gender tetapi tetap menjunjung tinggi identitas Islam. Ada yang menginginkan keadilan ekonomi tanpa ingin menggulingkan sistem politik.
Slogan-slogan yang mereka serukan, baik di jalan maupun di dunia maya, sering mencerminkan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, seperti “air untuk Khuzestan,” “martabat untuk Teheran,” atau “hak budaya untuk Kurdistan.”
Ekspresi seperti ini mengandung risiko. Risiko itu menciptakan nuansa. Seorang perempuan mungkin memilih mengenakan hijab, namun tetap mengecam kekerasan polisi. Seorang laki-laki bisa saja mengutip tokoh humanis dan tokoh revolusioner seperti Che Guevara sekaligus.
Yang menyatukan banyak dari mereka bukan ideologi, melainkan kekecewaan, terutama terhadap kemunafikan dan korupsi. Mereka menginginkan ruang, kejujuran, dan kebebasan untuk bernapas.
Tidak semua anak muda religius adalah pendukung rezim. Beberapa di antara mereka sangat spiritual namun juga kritis terhadap negara. Bahkan, ada yang mengikuti ulama yang justru dibungkam karena bersuara menentang kekuasaan.
Maka, saat menafsirkan sebuah unggahan, tanda suka, atau tagar, tahan diri untuk tidak langsung menerjemahkannya dari sudut pandang sendiri. Sebuah unggahan tentang kebebasan bisa saja merujuk pada hak-hak sipil, bisa pula berarti dukungan terhadap era Shah, atau bahkan merujuk pada Mahdi.
Anak muda Iran tengah membangun bahasa mereka sendiri dalam menyuarakan perlawanan, menggabungkan tradisi dan pemberontakan, satir dan keimanan. Meski tidak selalu mudah dipahami, ekspresi mereka hidup dan terus berkembang.
Sebagaimana harus menghindari penyederhanaan terhadap realitas anak muda di Iran, hal yang sama juga berlaku dalam memahami generasi muda Israel.
Di luar negeri, sering ada anggapan anak muda Israel apatis secara politik, seragam dalam nasionalisme mereka, atau terintegrasi dengan mulus ke dalam dunia militer dan startup. Namun kenyataannya jauh lebih kompleks, generasi muda Israel sangat terpecah dan kian terpolarisasi.
Tak ada satu gambaran tunggal tentang anak muda Iran dan Israel. Seperti halnya di Iran, kehidupan digital di Israel tidak serta-merta menyelesaikan perpecahan ini, justru sering kali memperparahnya.
Contoh, selama protes Mahsa Amini, sebagian anak muda Israel menunjukkan solidaritas terhadap perempuan Iran. Namun sebagian memanfaatkan momentum tersebut untuk mendorong narasi nasionalis atau Islamofobia. Media sosial di kedua negara berfungsi sebagai cermin sekaligus pengeras suara. Ia memantulkan perbedaan ideologi, namun juga memperdalamnya.
Meski demikian, tetap muncul tindakan-tindakan kecil yang membangun jembatan antargenerasi muda, inisiatif yang dipimpin anak muda, ruang obrolan terenkripsi, daftar putar musik bersama, dan proyek seni digital.
Sebagian pemuda Israel mulai menolak retorika ketakutan akan musuh abadi. Mereka mulai mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam tentang keadilan, koeksistensi, dan apa artinya hidup di kawasan yang saling terhubung secara ekstrem ini.
Gerakan ini memang belum masif, tapi menjadi sinyal penting bahwa di tengah bayang-bayang ideologi dan pengawasan, masih ada kemungkinan untuk terhubung. Lantas, apa yang terjadi ketika kecakapan digital itu berubah menjadi tindakan perlawanan?
Kembali ke contoh Uprising Mahsa Amini pada tahun 2022, saat menyaksikan sesuatu yang luar biasa yaitu sebuah momen ketika duka, kemarahan, dan koordinasi digital bertemu. Pemuda Iran berada di garis depan. Protes ini tidak hanya terjadi di jalanan, tapi juga sangat kuat dalam ruang digital. Dan bentuk perlawanan digital ini memiliki akar yang dalam.
Pada 2006, Jared Cohen menggambarkan budaya anak muda Iran sebagai bentuk revolusi pasif, yakni mengambil kembali ruang kehidupan sehari-hari melalui perlawanan yang halus. Namun pada 2022, hal itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar, perlawanan yang diperkuat secara digital.
Anak-anak muda Iran memanfaatkan platform Telegram, WhatsApp, Instagram, bahkan alat berbagi file lewat Bluetooth untuk mengorganisasi aksi protes fisik, menyebarkan video kekerasan polisi, membagikan musik dan slogan yang dilarang, serta mendokumentasikan pelanggaran HAM secara langsung.
Pemerintah menanggapi dengan kekerasan dan pemadaman dengan akses internet diperlambat, diputus, dan disensor. Namun para pemuda beradaptasi, menggunakan VPN, jaringan mesh, dan aplikasi peer-to-peer. Setiap ponsel menjadi alat penyimpan memori, menjadi saksi.
Perlawanan ini tak hanya berhenti di jalanan. Tapi berubah menjadi bentuk perlawanan budaya. Pesta bawah tanah terus berlangsung, perempuan berjalan tanpa jilbab sebagai bentuk tantangan, seniman menggambar mural secara diam-diam, mahasiswa melakukan aksi duduk tanpa suara.
Bahkan ketika demonstrasi besar menjadi terlalu berbahaya, protes budaya tetap hidup. Tagar seperti #MahsaAmini dan #ZanZendegiAzadi menyebar di internet Persia dan lintas batas. Ribuan orang ditangkap, puluhan tewas. Namun gambar-gambar tetap beredar, slogan-slogan terus menggaung, dan ketakutan mulai runtuh.
Itu bukanruntuhnya rezim, tapi sesuatu yang mungkin lebih penting, runtuhnya rasa takut. Para pemuda Iran tahu negara bisa memenjarakan, menyensor, bahkan membunuh mereka. Tapi mereka juga tahu satu hal, negara tak lagi bisa sepenuhnya mengendalikan imajinasi, identitas, dan suara mereka.
Republik Islam Iran dibangun atas penyatuan otoritas agama dan politik. Para ulama bukan sekadar pemimpin spiritual, tetapi juga penguasa politik. Selama beberapa dekade, penyatuan ini memberikan legitimasi sekaligus kekuatan moral bagi rezim.
Dalam beberapa tahun terakhir, kekuatan moral itu mulai terkikis, bahkan di kalangan ulama sendiri. Bagi pemuda Iran, khususnya yang tumbuh dengan latar belakang keagamaan, keretakan ini sangat berarti. Ini menjadi penanda bahwa Islam dan otoritarianisme bukanlah satu kesatuan.
Contoh yang menarik adalah Hassan Kamiri, yang dikenal sebagai “ulama Telegram.” Ia memperoleh banyak pengikut dengan menyampaikan pesan tentang kasih sayang dan spiritualitas pribadi, bukan lewat rasa takut atau dogma.
Pada 2019, ia dilarang berceramah dan dicopot dari status keulamaannya. Tuduhannya yaitu dianggap merusak wibawa institusi ulama. Namun bagi banyak anak muda Iran, justru hal inilah yang memperkuat kredibilitasnya.
Ada juga Sayid Mahdi Sadati, yang menggunakan Instagram untuk membongkar akses istimewa para ulama, pernikahan mewah, korupsi di kalangan elite, hingga kerusakan lingkungan. Ia mengalami nasib serupa, dihukum dan dipaksa menanggalkan jubah keulamaannya.
Para ulama ini bukan sosok pinggiran. Pembangkangan mereka bersifat simbolik. Mereka menunjukkan kepada pemuda Iran bahwa iman tetap bisa hidup tanpa harus tunduk secara buta. Bahwa keyakinan tidak selalu berarti diam.
Dalam sistem yang mencoba menguasai baik jiwa maupun negara, hal ini menjadi semacam perpecahan. Bagi generasi muda yang tumbuh dalam tekanan dan penuh keraguan, para ulama yang berani menyimpang ini memberikan sesuatu yang langka yaitu keberanian spiritual yang tidak membutuhkan izin politik.
Pemuda Iran dan Israel hidup dalam rezim yang berbeda, tetapi menghadapi kontradiksi yang serupa. Dan di balik semua ideologi itu, ada sesuatu yang lain yang terjadi, kontak digital yang tenang. Ini bukan diplomasi resmi, melainkan sebuah meme, mural, pesan, jembatan imajiner yang dibangun dari piksel dan daftar putar.
Koneksi-koneksi tak resmi ini hadir dalam berbagai bentuk. Pada 2008, seniman jalanan Iran bernama Alon berkolaborasi dari jarak jauh dengan dua seniman Israel, Inspire dan Poe, untuk menciptakan seri mural cermin berjudul Evolution of Violence. Untuk sesaat, karya seni yang sama muncul di Teheran dan Tel Aviv.
Pada 2012, desainer Israel Ronny Edry meluncurkan kampanye viral Israel Loves Iran, dengan pesan sederhana, “Orang-orang Iran, kami tidak akan pernah mengebom negara kalian. Kami mencintai kalian.” Ribuan warga Iran, dengan risiko pribadi yang besar, membalas dengan pesan. “Kami juga mencintai kalian.”
Di Shiraz pada tahun yang sama, muncul sebuah grafiti bertuliskan “tidak untuk perang.” Sekitar waktu yang sama, para mahasiswa di Universitas Haifa menciptakan Tatel, sebuah platform untuk saling bertukar pesan anonim dan apolitis di antara anak muda di Tel Aviv, Haifa, dan Teheran.
Meski skalanya kecil, platform ini berhasil menciptakan sebuah jembatan kontak. Musik ikut menjembatani. Penyanyi pop Iran-Israel, Rita, merilis album berbahasa Persia berjudul Shaneh-ye Man atau Semua Kebahagiaanku. Meski dilarang di Iran, albumnya tetap banyak diunduh secara luas.
Seniman lain bahkan merekam lagu Salam sebagai isyarat perdamaian antarbangsa, menyapa pendengar Iran melalui bahasa universal yaitu dengan musik. Duo musik elektronik Israel, Infected Mushroom, juga menjadi semacam musik latar bawah tanah bagi para pengemudi jalan tol di Teheran.
Contoh ini bukan sekadar pertukaran budaya, melainkan penolakan yang halus terhadap permusuhan yang diwariskan. Setiap pesan, setiap lagu yang diremix, setiap lirik yang dibagikan adalah bentuk keberanian dan pembangkangan diam-diam.
Setelah kematian Mahsa Amini pada tahun 2022, gelombang protes melanda Iran. Tapi yang mengejutkan, resonansi dari peristiwa ini terasa jauh melampaui perbatasannya, termasuk di jalanan Israel. Di kota-kota seperti Tel Aviv, Yerusalem, Nazareth, Haifa, Netanya, dan Eilat, mulai bermunculan mural.
Ini bukan aksi individu yang terisolasi, tapi pernyataan publik yang menunjukkan pengakuan terhadap penderitaan orang lain, di negara yang secara resmi menganggap Iran sebagai musuh. Namun tembok-tembok Israel seakan berbicara dalam bahasa yang berbeda. “Kami melihatmu. Kami ikut berduka. Perjuanganmu penting bagi kami.”
Contoh solidaritas visual yang paling mencolok muncul di Museum Toleransi di Yerusalem. Sebuah mural berjudul ERS of the World Rise Up menggambarkan dua perempuan sebagai pahlawan modern: Mahsa Amini dan Shir El, seorang tentara Israel keturunan Iran yang tewas pada serangan 7 Oktober.
Mural itu menyertakan kutipan dari Kitab Yeremia yang menghubungkan Elam kuno, nama lama untuk Iran, dengan Yerusalem, menciptakan kesaksian teologis yang dalam. Mural ini bukan sekadar karya seni, melainkan deklarasi visual yang melampaui politik: dua perempuan dari negara musuh yang dipersatukan oleh kemanusiaan di tengah kekerasan.
Ikatan kemanusiaan yang terjalin lewat seni dan dipertahankan melalui duka akhirnya menghadapi ujian terberatnya. Serangan Hamas pada 7 Oktober bukan hanya mengubah medan pertempuran, tapi juga mengguncang dasar solidaritas digital antara anak muda Iran dan Israel.
Di platform-platform Iran, respons yang muncul sangat beragam. Ada yang mendukung narasi rezim, sementara lainnya merespons dengan kesedihan, kegelisahan, atau solidaritas hati-hati terhadap warga sipil Israel.
Perpecahan menjadi jelas, terutama di kalangan diaspora, termasuk Yahudi Iran, kaum liberal sekuler, dan para aktivis pengasingan. Dukungan terbuka rezim Iran terhadap Hamas semakin memperdalam keterasingan mereka dari ideologi negara tersebut.
Di dalam negeri, anak muda Iran yang sebelumnya menunjukkan simpati diam-diam terhadap warga Israel mulai menarik diri. Sebagian takut dianggap mendukung negara yang kini membombardir Gaza. Sebagian lain takut dicap pro-Hamas. Banyak yang akhirnya memilih untuk keluar dari ruang digital sama sekali.
Perang ini mengungkap kenyataan yang pahit, solidaritas memiliki batas, terutama saat nyawa melayang. Republik Islam memanfaatkan momentum ini dengan memperkuat pesan anti-Zionis, menekan perbedaan pendapat, dan mencap empati terhadap korban sipil Israel sebagai bentuk pengkhianatan.
Bagi anak muda yang pernah berusaha menjalin koneksi lintas batas digital, situasi ini terasa seperti kehancuran. Beberapa hubungan putus, lainnya justru mengeras.
Bahkan dalam situasi genting ini, masih ada isyarat-isyarat diam yang tersisa yaitu pengguna Israel mengunggah pesan damai dalam bahasa Persia, warga Iran meratapi semua korban sipil, dan segelintir orang bersikukuh menyatakan bahwa mereka tidak berpihak pada negara manapun, mereka hanya percaya pada kemanusiaan.
Konfrontasi militer langsung antara Iran dan Israel pada April dan Oktober 2024 semakin menguji hubungan ini. Respons dari Iran sangat bervariasi. Sebagian merayakan serangan tersebut, namun banyak juga yang cemas akan serangan balasan.
Setelah dipastikan kerusakan yang terjadi relatif kecil, gelombang humor pun muncul di media sosial, di mana anak muda Iran ramai-ramai mengejek kemampuan militer rezim mereka sendiri. Sebagian besar juga mengkritik kebijakan luar negeri pemerintah, menyuarakan kembali slogan yang populer. “Tidak untuk Gaza, tidak untuk Lebanon, hidupku untuk Iran.”
Di Israel, tanggapan tidak kalah beragam. Serangan ini justru menegaskan kembali perpecahan yang selama ini terlihat, memperkuat fakta bahwa baik anak muda Iran maupun Israel tidak berbicara dengan satu suara yang seragam.
Bahkan di tengah konfrontasi militer langsung, di bawah tekanan ideologis dan represi negara, sebagian anak muda Iran tetap menentang narasi resmi, bukan lewat esai, tetapi lewat tindakan kecil, visual, dan sangat berisiko.
Dari Teheran dan kota-kota lain, muncul gambar-gambar anak muda yang berpose dengan bendera Israel, mahasiswa yang sengaja menghindari menginjak gambar bendera Israel dan Amerika Serikat yang dilukis di lantai. Terdapat pula grafiti dan spanduk bertuliskan “musuh kami ada di sini,” yang beredar luas.
Tindakan ini tampak sepele, namun sangat berbahaya di negara di mana sekadar menyukai unggahan di media sosial bisa berujung penangkapan. Foto seorang pemuda Iran dengan bendera Israel bukanlah dukungan terhadap Zionisme, melainkan bentuk perlawanan terhadap otoritarianisme, penolakan terhadap dikotomi yang dipaksakan negara.
Bagi sebagian anak muda, musuh mereka bukan lagi Israel, melainkan penindasan itu sendiri. Menolak menginjak bendera, sebuah ritual wajib dalam propaganda rezim—adalah cara mereka berkata, “kami tidak akan memperagakan kebencianmu.”
Memang ini bukan gerakan massa, tetapi merupakan sinyal kuat di tengah sistem yang dibangun atas kepatuhan seremonial, anak-anak muda sedang menulis ulang naskah dengan alat sederhana: kaleng cat semprot, kamera, dan keberanian untuk berdiri tegak.
Di kalangan diaspora, setelah serangan 7 Oktober, unjuk rasa di berbagai kota di Amerika Utara dan Eropa mengambil nada yang berbeda. Para demonstran Iran membawa bendera singa dan matahari Kekaisaran Persia di samping bendera Israel, menolak pandangan dunia Hamas dan Republik Islam Iran sekaligus.
Meskipun simbolisme monarki sering muncul, aksi ini tidak hanya dilakukan oleh pendukung monarki. Pesannya jelas: Iran dan Israel memiliki musuh yang sama, yaitu Republik Islam.
Di ranah digital, sikap ini diperkuat oleh tokoh seperti Elica LeBon, seorang pengacara Iran-Amerika yang menjadi sorotan setelah 7 Oktober. Ia menyatakan kaum progresif di Barat tanpa sadar membantu Republik Islam dengan meremehkan bahaya Hamas, sebuah pandangan yang dirasa relevan oleh banyak eksil Iran yang merasa penderitaan mereka diabaikan dunia.
Namun sudut pandangnya yang hitam-putih memicu reaksi keras. Kaum progresif Iran menuduhnya memanfaatkan penderitaan rakyat Iran untuk membungkam suara rakyat Palestina.
Perdebatan ini bukan sekadar beda pendapat sopan, melainkan meledak di berbagai grup Telegram, siaran langsung Instagram, hingga adu argumen sengit di Twitter. Serangan 7 Oktober memperlihatkan dengan sangat gamblang bahwa diaspora Iran jauh dari kata bersatu. Penolakan terhadap rezim terpecah dalam berbagai garis ideologis, generasi, dan strategi yang berbeda.
Gagasan solidaritas yang selama ini dibangun dengan hati-hati melalui musik dan mural bersama, tiba-tiba berubah menjadi medan konflik tersendiri.
Platform yang sama juga dapat memecah belah, memanipulasi, dan menjadi alat pengawasan. Batas antara koneksi tulus dan pencitraan, antara protes dan provokasi, tidak pernah jelas.
Momen-momen rapuh dari koneksi antarmanusia yang telah disoroti hanyalah satu dimensi dari interaksi digital. Di balik itu, terdapat lapisan lain, negara-negara yang secara sistematis mengeksploitasi platform yang sama yang digunakan individu untuk terhubung. Ruang digital ini tidak hanya menjadi tempat bagi solidaritas, tapi juga arena operasi strategis.
Perubahan ini terlihat jelas setelah serangan 7 Oktober. Menurut laporan intelijen ancaman Microsoft tahun 2024, Iran mengalihkan hampir setengah dari operasi sibernya ke arah Israel, meningkat tajam dari sebelumnya hanya 10%.
Lonjakan sebesar 400% ini disertai perubahan kualitas yaitu serangan menjadi lebih merusak dan makin sering dipasangkan dengan operasi pengaruh, akun aktivis palsu, kampanye disinformasi terkoordinasi, dan penyamaran strategis.
Dinamika ini bersifat dua arah, meski tidak pernah diakui secara resmi. Beberapa serangan siber besar terhadap infrastruktur Iran, seperti fasilitas produksi baja, SPBU, dan sistem kereta api—dianalisis secara independen sebagai kemungkinan ulah aktor yang terkait dengan Israel. Operasi semacam ini digambarkan oleh para ahli sebagai “penangkalan digital yang dikalibrasi.”
Sejak 2023, dinas keamanan Israel mencatat peningkatan tajam dalam operasi intelijen Iran yang memanfaatkan media sosial. Metodenya cenderung mengikuti pola tetap, agen Iran menghubungi warga Israel secara daring, menyamar sebagai jurnalis, aktivis HAM, atau bahkan calon pasangan romantis.
Mereka membangun kepercayaan lewat nilai bersama dan interaksi personal, hingga akhirnya muncul permintaan operasional—seperti memotret lokasi sensitif, menyebarkan materi tertentu, atau mengumpulkan informasi tentang individu tertentu.
Sepanjang 2024, otoritas Israel telah menangkap sedikitnya dua lusin warganya karena diduga bekerja sama dengan agen Iran. Beberapa dari mereka melakukannya secara sadar, sementara yang lain terjebak tanpa menyadarinya.
Bagi generasi digital yang memandang platform ini sebagai ruang ekspresi yang otentik, hal ini menimbulkan paradoks yang dalam. Bahasa solidaritas dan perlawanan yang mereka gunakan justru bisa dipersenjatai melawan mereka. Platform yang dirancang untuk membangun koneksi malah menjadi sarana eksploitasi.
Platform digital berfungsi sebagai ruang hibrida, tempat di mana koneksi antarmanusia yang tulus dan eksploitasi negara bisa terjadi secara bersamaan. Di sinilah solidaritas akar rumput hidup berdampingan dengan pengawasan sistematis.
Jika kembali pada pertanyaan awal, apakah media sosial bisa menjadi jembatan antara musuh historis, atau justru menjadi medan baru dalam konflik mereka? Jawabannya adalah keduanya benar.
- 5 Hal Penting dari Rencana Siam Cement Lepas Saham Chandra Asri (TPIA)
- IHSG Ambles, Minyak Melejit! Ini 6 Dampak Panasnya Konflik Israel-Iran ke Pasar Saham
- Cuma Beli Token Digital Kamu Bisa Jadi Pemilik Properti, Harganya Lebih Terjangkau!
Meski ada dokumentasi lengkap tentang risiko, jaringan pengawasan, infiltrasi, manipulasi, dan koordinasi yang terencana, anak-anak muda di kedua masyarakat terus berupaya menjalin koneksi lintas batas dan menolak narasi permusuhan yang diwariskan.
Generasi digital ini tidak sekadar menggunakan media sosial. Mereka mengubahnya menjadi ruang percobaan politik. Lewat setiap interaksi lintas batas, setiap bentuk pengakuan, setiap karya budaya yang dibagikan, mereka secara perlahan merevisi ulang parameter politik kawasan.