
Ambisi Tak Selaras Realita: Ketika Startup Lokal Bermimpi Terlalu Besar
- Indonesia sering disebut-sebut sebagai lahan subur bagi pertumbuhan startup. Negara ini memiliki pasar yang luas, populasi muda yang melek digital, serta talenta yang menjanjikan.
Tren Ekbis
JAKARTA – Indonesia sering disebut-sebut sebagai lahan subur bagi pertumbuhan startup. Negara ini memiliki pasar yang luas, populasi muda yang melek digital, serta talenta yang menjanjikan.
Namun, tanpa struktur yang kokoh dan insentif yang memadai, mimpi membangun kekuatan teknologi dari tanah lokal sering kali berakhir pada kelelahan, dan stagnasi pertumbuhan.
Menurut Startex Business Advisor, Leigh McKiernon, banyak startup tahap awal di Indonesia tampil meyakinkan dari luar. Mereka memiliki pitch deck yang menawan, jabatan-jabatan mentereng di LinkedIn, dan visi global yang ambisius.
"Namun, di balik presentasi yang memukau tersebut, realitasnya tidak jarang dipenuhi oleh individu yang harus merangkap berbagai peran karena keterbatasan sumber daya," katanya dalam cuitannya dilansir pada Rabu, 23 Juli 2025.
- Ada Tetangga RI, Berikut 10 Negara yang Dulunya Miskin Tapi Sekarang Kaya Raya
- Rumah Flat Menteng: Konsep Hunian Kota yang Kolektif dan Keren
- Jejak Fenomenal RATU dan Peluang Deja vu pada CDIA
Leigh McKiernon menyebut, masalah utama bukan terletak pada ambisi, melainkan pada struktur ekonomi yang menopangnya. Tidak masuk akal jika perusahaan menuntut eksekusi sekelas Google dari tim yang digaji belasan juta rupiah per bulan, sambil tetap harus mengelola berbagai fungsi karena kekurangan personel.
Menurutnya Indonesia sebenarnya tidak kekurangan talenta. Para profesional mudanya dikenal cerdas, tangguh, cepat belajar, dan mampu beradaptasi di tengah situasi yang tidak menentu. Namun, sistem kerja yang kurang mendukung membuat mereka kesulitan untuk berkembang.
"Ketika lingkungan kerja tidak menawarkan bimbingan, kejelasan karier, kompensasi layak, atau ekuitas yang berarti, banyak dari mereka memilih untuk pindah ke luar negeri ke pasar yang mampu menghargai kontribusi mereka secara lebih adil dan profesional." lanjutnya
Pilihan itu menjadi masuk akal secara matematis. Ketika harga talenta tidak sesuai dengan nilai dan ekspektasi yang dibebankan, maka talenta terbaik akan mencari tempat lain yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi.
Akibatnya, perusahaan lokal terjebak dalam dilema: membayar lebih mahal dan merusak struktur biaya, atau tetap membayar rendah dengan risiko kehilangan orang-orang terbaiknya.
Startup pilih jalan pintas
Di tengah keterbatasan itu, banyak startup memilih jalan pintas: membesarkan jabatan. Alih-alih merekrut VP berpengalaman yang Leigh McKiernon nilai, mereka memberikan gelar eksekutif pada individu yang baru mulai memahami alat iklan digital.
Strategi ini memang tampak menarik dalam presentasi investor, namun secara operasional justru memperlebar jurang antara tanggung jawab dan kemampuan.
Banyak startup akhirnya terlihat seperti perusahaan teknologi global lengkap dengan jabatan-jabatan keren namun di dalamnya masih berjuang menyusun fondasi yang solid.
Masalah lain katanya akan muncul yaitu, gaji tinggi untuk mengakomodir pekerjaan yang menyumbang pendapatan minim, bahkan sering kali gratis. Struktur pendapatan ini jelas tidak mampu menopang struktur biaya yang kian membengkak.
Dalam kondisi ini, startup harus menghadapi kenyataan pahit: mereka tidak punya cukup ruang untuk mengeksekusi mimpi besar. Tim yang tersedia belum cukup matang, sedangkan setiap rekrutmen baru membawa risiko finansial. Alhasil, pendanaan yang masuk justru terasa seperti upaya menunda masalah, bukan menyelesaikannya.
Sebagian startup akhirnya memilih untuk tetap ramping, fokus pada pasar niche, dan membangun fondasi secara perlahan. Sementara itu, sebagian lain mencoba memperluas pasar ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, berharap bahwa pengguna berbayar dari luar negeri bisa membantu menutup biaya pengembangan di dalam negeri.
Yang paling berbahaya adalah ketika startup memilih untuk menutup mata terhadap realita. Mereka membangun seolah-olah berada di San Francisco, padahal seluruh indikator ekonomi menunjukkan sebaliknya.
"Ambisi tetap penting. Namun tanpa konteks, ia justru menjadi sumber frustrasi yang berkepanjangan," tutupnya.