
Ambisi Amerika Serikat Mendominasi AI, Apa Implikasi Geopolitiknya?
- Pertanyaannya: jika keadaan suatu negara sudah sepenuhnya terbuka, maka apa yang tersisa dari pertahanan keamanan negara?
Kolom & Foto
Apa tekad Amerika Serikat yang merupakan negara terdepan di dunia dalam pengembangan artificial intelligence (AI), untuk memeliihara dominasinya? Segera, jawabannya diperoleh lewat dokumen “Winning the Race America’s AI Action Plan” yang diterbitkan Kantor Eksekutif Presiden Amerika Serikat, 2025. Tekad itu terepresentasi dalam pernyataan percaya diri Presiden Donald Trump.
Presiden yang kerap melontarkan ucapan kontroversial ini, menyebut kurang lebih: muncul penemuan ilmiah yang didorong oleh teknologi transformatif seperti AI. Ini membentuk keseimbangan kekuatan global baru. Juga memicu industri-industri yang sepenuhnya baru, dan merevolusi cara hidup maupun bekerja. Di tengah persaingan global itu, terjadi perlombaan mengeksploitasi teknologi-teknologi, sehingga menjadi keharusan keamanan nasional Amerika Serikat untuk mencapai dan mempertahankan dominasi teknologi global yang tak terbantahkan dan tak tertantang. Seluruhnya, untuk mengamankan masa depan. Inovasi Amerika Serikat harus dimanfaatkan sepenuhnya.
Ambisi Donald Trump terepresentasi dengan tekanan pada frasa ‘keamanan nasional’, maupun ‘tak terbantahkan’ dan ‘tak tertantang’. Agar tak jadi sekedar slogan kosong, ucapan itu kemudian diterjemahkan sebagai tiga pilar pencapaian. Pilar pertamanya adalah, rencana aksi mendukung sektor AI swasta. Ini dilakukan dengan memberikan dukungan penuh pada sektor swasta, saat mengembangkan AI. Dukungan yang bahkan jika harus mengubah kerangka peraturan masa lalu yang dianggap menghalangi pengembangan AI.
Untuk mewujudkan kesungguhan itu, Wapres AS turut berujar: minggir dan biarkan para inovator melakukan pengembangan. Pembatasan dengan adanya peraturan yang sedang berlaku, sama saja dengan melumpuhkan salah satu teknologi paling menjanjikan, yang pernah dilihat selama beberapa generasi. Sedangkan jika penghalangnya adalah peraturan yang bersumber dari negara bagian, diancam: dana bagi negara bagian yang berani memberlakukan peraturan penghalang pengembangan AI, akan ditahan.
Pilar kedua, dibangunnya landasan beton dan kode. Ini berkaitan dengan tersedianya fasilitas fisik maupun bahan mentah dalam revolusi AI. Untuk mewujudkannya, harus dibangun pembangkit energi yang jauh lebih besar dari yang sudah ada. Juga membangun pusat data, membawa pulang manufaktur semikonduktor, dan membangun jaringan listrik masa depan.
Seluruhnya ditempuh dengan cara mempercepat perizinan lingkungan, merombak sistem pemasokan energi nasional, menggabungkan sumber daya saat ini dengan rencana masa depan --pengembangan fusi nuklir-- berikut membawa kembali pembuatan chip ke AS. Dari seluruh upaya mewujudkan pilar kedua ini, terdapat keperluan melatih generasi baru teknisi dan insinyur, sebagai pembangun dan pemelihara tulang punggung pengembangan AI.
Dan terakhir pilar ketiga adalah, memastikan keunggulan AS yang tak tertandingi di panggung dunia. Ini diterjemahkan sebagai upaya membentuk dunia, yang sesuai dengan citra Amerika. Pilar ketiga ini dicapai dengan menjadikan seluruh rangkaian teknologi AS – mulai dari silikon hingga perangkat lunak—sebagai standar dunia yang tak terbantahkan. Diwujudkan dengan melibatkan strategi ekspor yang agresif, untuk mempersenjatai sekutu dengan teknologi AS sekaligus melawan pengaruh Cina yang sedang bangkit.
Tampaknya, konteks penyusunan tiga pilar dominasi AS ini, didorong kesadarannya terhadap langkah-langkah Cina, yang juga agresif mengembangkan ekosistem AI-nya. Konteks itu makin nyata, saat kebijakan luar negeri AS menolak pengaruh Cina di berbagai forum global, termasuk PBB. Lembaga itu diyakini, digunakan untuk mendorong regulasi yang mematikan inovasi. Kebijakan menolak Cina, juga diterapkan dalam kontrol ketat terhadap distribusi chip canggih, yang memfasilitasi kemajuan AI di negara itu. Uraian menyangkut pencanangan tiga pilar di atas, termuat dalam tulisan Ryan Daws, 2025, “AI Action Plan: US Leadership Must be ‘Unchallenged’”.
Sejak Donald Trump menjabat di periode kepemimpinan keduanya, terjadi perubahan arah kebijakan. Dari mitigasi tenaga kerja yang irelevan oleh AI --ini dicanangkan Joe Biden-- ke kebijakan yang berupaya menghadang persaingan dari Cina. Maka intepretasi pencanangan tiga pilar di atas, selain dibaca sebagai upaya pencapaiannya di dalam negeri, juga dapat dikaitkan dengan pencapaian yang melibatkan negara di luar AS.
Salah satunya, saat terjadi berbagai negosiasi pengenaan tarif dagang antar negara dengan AS. Waktu pembahasan tak terlalu berbeda dengan pencanangan visi di atas. Termasuk ketika Indonesia dikenai tarif dagang ke AS, semula 32% dan kemudian diturunkan menjadi 19%. Penurunan sebesar 13% itu, tentu tak mudah diberikan. Di antaranya dikompensasi dengan tarif 0%, saat produk AS masuk ke Indonesia. Sepenuhnya bebas bea masuk.
Bebasnya bea masuk, akan menyebabkan produk-produk AS melenggang di pasar Indonesia. Harganya yang menjadi kompetitif, menyebabkan konsumen Indonesia memilih produk-produk itu. Produk-produk yang semula mahal, bisa dinikmati dengan lebih murah, lantaran biaya masuknya nol. Implikasi masuknya produk, tak menghindarkannya membentuk ekosistem. Ini menjadikan standar AS mendominasi dan menjadi acuan bagi produk di Indonesia. Sebagian tujuan pilar ketiga, terakselerasi lewat perjanjian tarif ini.
Kompensasi lain penurunan bea masuk menjadi 19% bagi Indonesia, terkait data transfer yang menyertai perdagangan. Data yang berasal dari transaksi konsumen yang minatnya meningkat oleh bebasnya bea masuk, akan deras mengalir ke perusahaan-perusahaan AS. Negara itu memperoleh hak mengelola data transfer, dan menjadi sarana mewujudkan pilar kedua: upaya besar untuk membangun pusat data. Penurunan tarif dan syarat tambahannya, jadi sarana mewujudkan dominasi AI.
Strategi terintegrasi di atas, juga diterjemahkan sebagai langkah konkrit. Langkah berupa aliran investasi ribuan triliun, untuk membangun infrastruktur. Sagar Sangwan, 2025, dalam “The U.S. Government’s Bold $500 Billion Investment in AI Infrastructure”, menyebut investasi --yang jika dirupiahkan tak kurang dari Rp 8.169.400.000.000.001-- diwujudkan melalui Stargate Project.
Ini melibatkan OpenAI, Oracle, SoftBank, maupun beberapa perusahaan strategis lainnya. Penggunaan investasinya meliputi: Pusat Data: Perluasan dan penciptaan fasilitas komputasi berkinerja tinggi; Infrastruktur Energi: Pembangkit listrik khusus untuk mendukung meningkatnya permintaan pemrosesan AI; Penelitian AI Tingkat Lanjut: Peningkatan pendanaan untuk lembaga penelitian AI dan kemitraan dengan perusahaan swasta; Perluasan Cloud dan Jaringan: Memperkuat komputasi awan dan jaringan berkecepatan tinggi untuk aplikasi AI. Patut diperhatikan, pusat data selalu menjadi tulang punggung dalam mewujudkan dominasi itu.
Di tengah langkah-langjah strategis mewujudkan ambisi AI itu, CEO OpenAI Sam Altman, mengemukakan risiko AI terhadap hilangnya pekerjaan maupun ancaman keamanan nasional. Ini terkemuka lewat tulisan lain Ryan Daws, 2025, berjudul “Sam Altman: AI Will Cause Job Losses and National Security Threats”. Disebutkan dalam tulisan itu, Altman yang berbicara di Konferensi Federal Reserve untuk bank-bank besar, menyatakan AI akan memengaruhi cara orang mencari nafkah. Pekerjaan tertentu bukan diubah, melainkan dihapus sepenuhnya.
Sedangkan AI yang menjadi ancaman terhadap keamanan negara, ketika ada negara-negara yang sedang bertikai, dan menggunakan AI sebagai senjata. Ini dapat digunakan untuk melumpuhkan sistem keuangan negara musuhnya. Keadaan kian diperburuk oleh penyalahgunaan teknologi kloning suara, yang dapat digunakan untuk penipuan tak terkendali. Terutama karena masih ada lembaga keuangan, yang menerima rekaman suara sebagai sarana otentikasi.
Peringatan Altman itu dapat dibaca dari dua arah. Pertama, bagi kepentingan AS. Saat terdapat dua bahaya besar yang mengintai, dominasi AS mutlak diwujudkan. Termasuk dengan menyusun mitigasi penanganan nasib tenaga kerja, yang tergantikan AI. Sedangkan soal ancaman keamanan negara, justru dengan mendominasinya keamanan dalam negeri AS terjamin. AI sepenuhnya dikuasai negara itu. Investasi besar yang telah dirancang, tak perlu diragukan lagi. Harus segera diwujudkan, sebelum ada negara lain yang mengejar pencapaian AS.
Sedangkan pembacaan kedua, peringatan Altman itu berlaku bagi semua negara di dunia. Dengan upaya pencapaian dominasi AS, tenaga kerja di seluruh dunia sangat tergantung pada kebijakan AS. Ke mana peta jalan pengembangan AI negara ini, harus diikuti. Lantaran seluruhnya terkait dengan tenaga kerja di masing-masing negara, yang harus direncanakan masa depannya.
Sedangkan soal keamanan negara, dengan terbangunnya pusat-pusat data di AS --termasuk yang sumber datanya berasal dari konsumen produk AS—dapat digunakan untuk menembus pertahanan negara lain. Setidaknya untuk mempengaruhi perilaku warga negara, yang datanya dikumpulkan. Keadaan suatu negara, dapat terbaca dari data konsumsinya: jenis produk yang dibeli, jumlah pembelian, jadwal pembelian, termasuk jejak digital yang tersimpan di produk yang dikonsumsi. Datanya diolah dengan fasilitas AI.
Pertanyaannya: jika keadaan suatu negara sudah sepenuhnya terbuka, maka apa yang tersisa dari pertahanan keamanan negara?