
Alex Denni Bebas Lewat PK, PBHI Soroti Peradilan Sesat
- Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus pidana Alex Denni dinilai menjadi titik balik penting dalam upaya koreksi besar terhadap praktik hukum di Indonesia.
Nasional
JAKARTA – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus pidana Alex Denni dinilai menjadi titik balik penting dalam upaya koreksi besar terhadap praktik hukum di Indonesia.
Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) periode 2021-2023 itu dinyatakan bebas setelah hampir dua dekade menghadapi jerat hukum yang dinilai sarat rekayasa dan prosedur cacat.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, kasus ini sebagai contoh nyata dari peradilan sesat (miscarriage of justice), yang membuktikan bahwa sistem hukum masih rentan digunakan untuk kriminalisasi.
- Habiskan Rp10 Triliun, Ini Profil Lapangan Minyak Forel dan Terubuk di Riau
- Bitcoin Diproyeksi Cetak Rekor Tertinggi Sebelum Akhir Mei 2025
- Saham LQ45 Hari Ini Naik 1,22 Persen, ADRO dan MDKA Top Gainers
"Berdasarkan informasi di laman Mahkamah Agung, status perkara sudah diputus dan saat ini sedang dalam proses minutasi," ujar Julius saat ditemui di Jakarta pada Jumat, 16 Mei 2025.
Berdasarkan informasi dari laman resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia, perkara PK dengan nomor perkara 1091 PK/Pid.Sus/2025 tersebut telah diputus pada 23 April 2025 lalu. Bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim adalah Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto dengan dua Hakim Anggota yakni Hakim Agung Agustinus Purnomo Hadi dan Hakim Agung Jupriyadi.
Pada intinya, amar putusan tersebut menjelaskan bahwa Majelis Hakim mengabulkan permohonan PK yang diajukan Alex Denni dan membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor 163 K/Pid.Sus/2013 tanggal 26 Juni 2013 jo. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 166/Pid/2008/PT.BDG tanggal 20 Juni 2008 jo. Putusan Pengadilan TIndak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 1460/PID/B/2006/PN.Bdg tanggal 29 Oktober 2007.
Ketimpangan Terlalu Mencolok
Menurut Julius, ketimpangan prosedural dan substansial dalam kasus Alex Denni terlalu mencolok untuk diabaikan. Mulai dari relaas yang tidak pernah disampaikan, keterlibatan hakim militer, hingga putusan berbeda untuk kasus yang substansinya sama. Bahkan, eksaminasi dari PBHI dan tiga ahli pidana membuktikan bahwa dakwaan terhadap Alex sangat lemah dan dipaksakan.
"Kriminalisasi bukan sekadar kesalahan teknis. Ini sistem yang gagal mengontrol dirinya sendiri. Kasus ini harusnya jadi trigger perombakan menyeluruh," ujar Julius.
Sinyal Perubahan, atau Sekadar Anomali?
Menurut Julius, putusan PK ini membuka dua kemungkinan, apakah ini awal dari perubahan sistemik, atau hanya pengecualian langka dalam sistem yang masih keliru?
Pakar hukum menilai, jika Mahkamah Agung benar-benar ingin menjadikan momentum ini sebagai pelajaran, maka perombakan mekanisme mitigasi disparitas putusan harus dilakukan. Tanpa itu, kasus seperti Alex Denni akan terus berulang.
Kasus ini dinilai menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia belum imun dari penyimpangan. Ketika seseorang bisa menjadi korban selama dua dekade karena proses hukum yang salah, maka perbaikan bukan lagi opsi melainkan kebutuhan mendesak.
Dalam kesempatan yang sama, Alex Denni menyampaikan sempat kehilangan harapan untuk menempuh jalur hukum karena merasa proses yang dihadapinya tak lagi rasional. Ia bahkan sempat ditetapkan sebagai buron, meski selama bertahun-tahun aktif menjabat di berbagai posisi strategis, termasuk sebagai Deputi SDM di Kementerian BUMN dan KemenPAN-RB.
“Bagaimana mungkin saya disebut mangkir 11 tahun, sementara jejak saya jelas di instansi-instansi pemerintah?” ungkap Alex, mengingat momen penangkapannya di Bandara pada 2024.
Ironi mencuat saat dua rekannya dalam kasus yang sama Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dibebaskan oleh pengadilan, tetapi Alex justru divonis bersalah. Keputusan kasasi Alex pun keluar jauh lebih lama, dan lebih aneh lagi: baru dieksekusi lebih dari satu dekade kemudian.