Ilustrasi Fintech Peer to Peer (P2P) Lending alias kredit online atau pinjaman online (pinjol) yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan ilegal. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

AFPI Klarifikasi Isu Kartel Bunga Pinjol: Batas Bunga Ditetapkan untuk Lindungi Konsumen

  • Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diberitakan akan menggelar sidang pendahuluan untuk menyelidiki dugaan praktik kartel bunga di industri pinjaman online (fintech lending).

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyampaikan klarifikasi atas tudingan adanya praktik kartel bunga dalam industri pinjaman online (pinjol) yang belakangan ramai dibicarakan publik. AFPI menegaskan bahwa aturan mengenai batas maksimum bunga yang pernah diterbitkan bukanlah bentuk pengaturan harga seragam antarplatform, melainkan langkah awal untuk menurunkan bunga yang sangat tinggi pada masa itu.

AFPI menyebut aturan batas bunga maksimum pertama kali diterbitkan dalam Code of Conduct pada tahun 2018. Namun aturan tersebut kini telah dicabut dan tidak lagi berlaku. Penetapan batas bunga itu, menurut AFPI, bertujuan membedakan layanan legal (Penyelenggara Pendanaan atau Pindar) dari praktik pinjol ilegal yang tidak memiliki pengawasan.

“Waktu itu, bunga pinjaman daring bisa mencapai di atas 1% per hari, bahkan ada yang dua hingga tiga kali lipat. Batas bunga maksimum justru ditujukan agar platform legal tidak ikut-ikutan mengenakan bunga mencekik. Ini bagian dari perlindungan konsumen,” ujar Sunu Widyatmoko, Sekretaris Jenderal AFPI periode 2019–2023 melalui pernyataan tertulis kepada awak media, Rabu, 14 Mei 2025. 

AFPI menekankan bahwa keputusan tersebut bukan instrumen kartel, melainkan langkah kolektif industri untuk menghadirkan alternatif pinjaman yang lebih manusiawi di tengah maraknya praktik predator dari pinjol ilegal.

Banyak Pinjol Ilegal Beroperasi Tanpa Izin

Berdasarkan data dari Satgas Waspada Investasi (SWI), tercatat lebih dari 3.600 entitas pinjol ilegal beroperasi di Indonesia selama periode 2018 hingga 2021. Mayoritas dari mereka menawarkan pinjaman berbunga sangat tinggi, tanpa mekanisme perlindungan konsumen.

“Batas bunga maksimum yang kami buat adalah batas atas, bukan harga tetap. Kenyataannya, ada platform yang menetapkan bunga di bawah batas bunga maksimum, seperti 0,6%, 0,5%, bahkan 0,4% per hari,” jelas Ronald Andi Kasim, Sekretaris Jenderal AFPI saat ini.

Baca Juga: Performa Pembiayaan Bank, Multifinance, dan Fintech Maret 2025: Siapa Paling Unggul?

Penentuan Bunga Bersifat Individual

Ronald juga menegaskan bahwa setiap platform fintech lending menentukan besaran bunga secara independen. Hal ini didasarkan pada penilaian risiko masing-masing, jenis produk pinjaman (Multiguna, Produktif, atau Syariah), serta kesepakatan antara pemberi dana (lender) dan peminjam (borrower).

“Tidak ada paksaan harga seragam dalam praktik industri,” tegas Ronald. Ia memastikan bahwa keragaman skema bunga antarplatform justru menunjukkan adanya mekanisme pasar yang sehat dalam ekosistem fintech pendanaan.

Aturan Bunga Kini Mengacu pada Regulasi OJK

Setelah disahkannya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUP2SK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 19 Tahun 2023 yang secara spesifik mengatur bunga pinjaman di sektor fintech. Merespons hal tersebut, AFPI langsung mencabut aturan batas bunga maksimum yang sebelumnya diterapkan secara internal.

“Yang kami lakukan adalah bentuk tanggung jawab industri. Kami ingin borrower mendapatkan bunga yang lebih ringan, tanpa menurunkan minat lender yang menyalurkan dana. Karena kalau bunga ditekan terlalu rendah, risiko tidak sebanding, dan lender akan pergi. Justru borrower yang akan kesulitan akses dana,” ungkap Ronald.

Komitmen AFPI: Dorong Ekosistem yang Adil dan Transparan

AFPI menegaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen untuk mendukung terciptanya ekosistem pendanaan digital yang sehat, adil, dan transparan. Dalam hal ini, AFPI juga mendukung penuh arah kebijakan regulator serta berupaya memastikan masyarakat dapat membedakan dengan jelas antara layanan pinjaman legal dan pinjol ilegal.

“Kami akan terus berkoordinasi dengan OJK dan pemangku kepentingan lainnya dalam menjaga kepercayaan publik terhadap industri ini,” pungkas Ronald.

Latar Belakang

Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diberitakan akan menggelar sidang pendahuluan untuk menyelidiki dugaan praktik kartel bunga di industri pinjaman online (fintech lending). 

Sebanyak 97 penyelenggara fintech lending ditetapkan sebagai Terlapor karena diduga menetapkan batas bunga harian secara kolektif melalui AFPI, yakni sebesar 0,8% yang kemudian diturunkan menjadi 0,4% sejak 2021. 

KPPU menilai praktik ini melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 karena menghambat persaingan dan merugikan konsumen. Selain itu, struktur pasar fintech lending dinilai sangat terkonsentrasi, dengan dominasi oleh beberapa pemain besar seperti KreditPintar, Asetku, dan Modalku.

Kasus ini telah naik ke tahap Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan, di mana KPPU akan menguji validitas temuan dan membuka ruang pembuktian. Jika terbukti melanggar, pelaku usaha terancam sanksi denda hingga 50% dari keuntungan atau maksimal 10% dari total penjualan terkait. Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, menegaskan bahwa penegakan hukum ini penting untuk menciptakan ekosistem fintech yang lebih adil, kompetitif, dan berorientasi pada konsumen.