
3 Fakta di Balik Reli Gila Saham CDIA di Tengah Pengawasan Ketat Bursa
- Saham CDIA tetap ARA meski masuk papan pemantauan khusus (FCA). Apa rahasianya? Simak analisis kelangkaan saham IPO & sinyal borong dari para petinggi.
Tren Pasar
JAKARTA – Saham 'ajaib' PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) kembali melawan logika pasar. Setelah suspensinya dibuka hari ini, Jumat, 25 Juli 2025, saham emiten milik Prajogo Pangestu ini langsung 'tancap gas' dan ditutup Auto Reject Atas (ARA).
Yang menarik, kenaikan +9,90% ke level Rp1.665 ini terjadi di saat CDIA baru saja dimasukkan ke Papan Pemantauan Khusus dengan mekanisme Full Call Auction (FCA). Sistem 'penjara' yang biasanya meredam gejolak harga seolah tak mempan bagi emiten ini.
Kenaikan yang seolah tak terbendung ini, ditambah dengan sinyal kuat dari internal perusahaan, tentu membuat investor bertanya-tanya. Mari kita bedah tiga fakta utama di balik fenomena saham CDIA.
- Perang Thailand-Kamboja: Intip Perbandingan Ekonomi Kedua Negara
- Sejarah Konflik Thailand-Kamboja, Kenapa Sulit Berakhir?
- Altcoin Anjlok Hampir 10 Persen di Akhir Juli, Baca Tips Ini Supaya Jantung Kamu Aman!
1. Ledakan Harga akibat Kelangkaan Saham Saat IPO
Dasar dari fenomena ini adalah momen Penawaran Umum Perdana Saham (IPO) CDIA. Dalam aksi korporasi tersebut, perusahaan berhasil menghimpun dana segar dari publik senilai total Rp2,37 triliun dengan melepas 12,48 miliar lembar saham.
Meskipun nilainya triliunan, permintaan terhadap saham ini ternyata jauh lebih besar. IPO CDIA tercatat oversubscribed 400 kali lipat, membuat investor ritel hanya mendapat jatah 'secuil' sekitar 1,7% dari total pesanan mereka.
Akibatnya, banyak investor yang gagal mendapatkan saham saat IPO terpaksa 'berebut' untuk membeli di pasar reguler. Permintaan masif yang bertemu pasokan terbatas inilah yang menjadi bahan bakar utama reli ARA berjilid-jilid setelahnya.
Hasilnya, harga saham meroket 776% dari Rp190 ke Rp1.665. Ledakan harga ini membuat kapitalisasi pasarnya 'menggembung' secara masif menjadi Rp207,84 triliun, bahkan berhasil menyalip nilai induk usahanya, PT Barito Pacific Tbk (BRPT).
2. Sinyal Internal: Dari Aksi Borong Petinggi Hingga Validasi Kinerja
Di balik reli harga yang didorong oleh kelangkaan, ada dua sinyal internal dari perusahaan yang semakin menambah keyakinan sekaligus misteri. Sinyal pertama adalah aksi borong saham yang dilakukan oleh para petinggi perusahaan sendiri.
Komisaris CDIA, Andre Khor Kah Hin, tercatat memborong 15 juta saham. Aksi serupa juga dilakukan oleh dua direkturnya, Fransiskus Ruly Aryawan dan Jonathan Kandinata. Aksi ini menjadi sinyal kepercayaan diri yang sangat kuat dari orang dalam.
Sinyal positif lainnya datang dari rencana audit penuh terhadap laporan keuangan semester I-2025. Langkah ini, meskipun tidak lazim untuk laporan interim, bisa ditafsirkan sebagai upaya perusahaan untuk menyajikan data yang sangat kredibel kepada publik.
Langkah ini sangat masuk akal jika melihat kinerja fantastis perusahaan pada tahun 2024. Laba bersih CDIA tercatat melonjak hingga 2.167% menjadi US$32,69 juta (sekitar Rp537 miliar), sebuah pencapaian yang tentu ingin divalidasi dan ditunjukkan kepada pasar.
3. Apa Artinya Ini Bagi Investor Ritel?
Fenomena CDIA menyajikan pertarungan antara sinyal super bullish dan bendera merah (red flag). Di satu sisi, kenaikan harga yang gila, kelangkaan saham, dan aksi borong direksi adalah sinyal positif yang sangat kuat.
Namun di sisi lain, status pemantauan khusus dari bursa dan valuasi yang sudah meroket ratusan persen adalah risiko yang amat besar. Investor ritel disarankan untuk ekstra hati-hati dan memahami bahwa potensi koreksi harga sama besarnya dengan potensi kenaikannya.
Kisah ini menjadi pelajaran penting tentang investasi berisiko tinggi. Keuntungan besar seringkali berjalan beriringan dengan potensi kerugian yang juga besar. Keputusan untuk masuk atau tidak harus didasarkan pada pemahaman mendalam dan kesiapan menerima segala kemungkinan.